Dr. KH. Atabik Luthfi, Lc, MA | Laznas Yakesma
فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ ٱلسَّـٰجِدِینَ (98) وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ یَأۡتِیَكَ ٱلۡیَقِینُ (99}
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (Al-Hijr:98-99)
Ayat ini merupakan perintah dengan khitab khusus kepada Rasulullah saw agar beliau menjalankan pengabdian dan penghambaan kepada Allah swt hingga kematian menjemputnya. Sedangkan kata kunci pada ayat ini ada pada kata “Al-Yaqin”. Berdasarkan susunannya dalam mushaf, terdapat dua ayat dengan redaksi yang hampir sama dan memberi makna yang sama yang dijadikan korelasi oleh Ibnu Katsir, yaitu ayat ini dan surah Al-Muddatsir ayat 46-47 yang mengungkap penyesalan penghuni neraka Sa’ir, “Kami dahulu (di dunia) termasuk orang-orang yang mendustakan hari pembalasan hingga Al-Yaqin (kematian) menjemput kami”.
Mayoritas para mufassir memahami kata “Al-Yaqin” pada kedua ayat di atas dengan makna kematian. Karena, menurut Ath-Thabari, kematian merupakan sesuatu yang diyakini dengan sangat pasti kedatangannya. Meskipun menurut Umar bin Abdul Aziz keyakinan tentang kematian adalah keyakinan yang mirip dan dekat dengan keraguan, “Aku tidak melihat keyakinan yang mirip dengan keraguan dari keyakinan seseorang akan kematian, namun ia tidak mempersiapkan diri menghadapinya”.
Makna kematian pada dua ayat diatas diperkuat oleh hadits Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Ummul ‘Ala Al-Anshoriyyah bahwa ketika Rasulullah bertakziah atas kematian Utsman bin Madh’un, Ummul ‘Ala berkata di depan jenazahnya, “Saya bersaksi bahwa Allah telah memuliakanmu”. Mendengar pernyataan wanita itu, Rasulullah bertanya, “Bagaimana engkau tahu bahwa ia dimuliakan Allah?”. Ummul ‘Ala balik bertanya, “Demi Allah, kalau begitu siapa ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya telah datang Al-Yaqin (kematian) kepadanya dan saya berharap untuknya kebaikan”.
Berdasarkan analisa bahasa seperti yang dikemukakan oleh Imam Al-Qurthubi, redaksi “Sembahlah Tuhanmu” sesungguhnya sudah cukup untuk menunjukkan makna perintah agar menyembah Allah. Namun justru kata “hingga kematian menjelang” merupakan ta’kid bahwa perintah beribadah kepada Allah adalah perintah yang berterusan, berkesinambungan, dan tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan tempat tertentu, yaitu beribadah selama hayat dikandung badan, “Dan Dia (Allah) menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup” (Maryam: 31)
Namun ternyata pada realitasnya, sebagaimana biasa ketika bulan ramadhan menyapa, beramai-ramai umat muslim menyingsingkan baju, siap-siap mendulang pahala, merendam nafsu sahwat, dan beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Fenomena ini dapat disaksikan langsung pada aktifitas keislaman seorang muslim di bulan ramadhan yang semakin meningkat. Membaca al-Qur’an, qiyamul lail, sedekah, berbagi dengan sesama, silaturahim dan acara-acara keislaman, kajian, masjid, serta majlis ta’lim menjadi rutinitas sepanjang bulan Ramadhan.
Memang tidak dapat dinafikan bahwa itulah diantara kemuliaan dan keberkahan bulan ramadhan. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw memberi jaminan, “Puasa adalah perisai (benteng).” Dalam artian, ketika seorang muslim berpuasa, dia seolah dapat membentengi dirinya dari segala serangan nafsu syahwat dan godaan syetan. Sehingga dia dapat berjalan “dengan gagah” melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Dan beruntunglah orang-orang muslim yang benar-benar sukses mendulang pahala, jaya menggunakan bulan itu untuk meningkatkan prosentase keimanan, yang memakai benteng puasa untuk melawan nafsu dan kebiasaan-kebiasaan buruk. orang-orang yang menjaga jiwanya, hatinya, lisannya, dan seluruh anggota tubuhnya dari maksiat.
Namun pasca ramadhan, kebiasaan buruk lama berulang kembali. Terjadi kelesuan dalam beramal pada kebanyakan umat Islam. Terjadi kekosongan di tempat dan acara-acara keislaman. Padahal ramadhan sejatinya dijadikan Allah sebagai “proses”, menuju taqwa. Ramadhan adalah kesempatan yang besar untuk menambah dosis keimanan, untuk menambah daya vitalitas orang muslim untuk menuju taqwa. Rasulullah saw menegur keras seorang yang hanya beribadah pada waktu-waktu tertentu, kemudian ia tinggalkan ibadah tersebut secara totalitas:
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا عبد الله لا تكن مثل فلان كان يقوم الليل فترك قيام الليل )
“Hai Abdullah, Janganlah engkau seperti fulan. Ia dahulu shalat malam, kemudian ia meninggalkan shalat malam (tidak melaksanakannya sama sekali setelah itu)”.
Oleh karena itu, seorang muslim “yang cerdas” akan tepat dalam memenej atau memprogram ramadhan, yaitu dengan menyandingkannya dengan program pasca ramadhan. Dalam artian dia mempersiapkan sebuah program tetap dalam ketaqwaan dan keinginan untuk mengubah kebiasaan agar serasi dengan kesucian bulan Ramadhan. Program lain pasca Ramadhan, kegiatan yang bisa membantu seseorang untuk meneruskan musim ketaatan.
Demikian pula, sejatinya orang yang telah mengukir prestasi beramal dan taat di bulan ramadhan, sangat disayangkan, jika telah melewatinya kembali masuk dalam kelompok pelaku maksiat. Sebagaimana, orang-orang yang sudah berhasil merasakan lezatnya ketaatan, indahnya ibadah, sangat disayangkan jika harus kalah dan kembali pada kesengsaraan bergelumur dalam dosa dan kotornya maksiat.
Padahal diantara tanda diterimanya suatu amal ibadah seseorang adalah jika dia dapat konsisten dan lebih banyak lagi melakukan amal tanpa melihat kepada waktu atau bulan tertentu dan tempat tertentu yang memiliki keutamaan. “Jadilah hamba Rabbani, dan bukan hamba Ramadhani”. Dan itulah makna hakiki dari firman Allah swt, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. Dan firman Allah swt, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu”. (Muhammad: 33) dengan melakukan maksiat setelah melakukan ketaatan kepadaNya seperti yang dinyatakan dengan tegas oleh Imam Ath-Thabari dan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Semoga suasana kebaikan bulan Ramadhan dapat senantiasa dipertahankan sebagai bukti penghambaan kita di hadapan Allah, bukan ‘Ramadhaniyah’ kita yang sifatnya sebentar dan sangat terbatas “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”.
Artikel ini ditulis oleh:
Megel Jekson