Jakarta, Aktual.com- Akhir pekan identik dengan keceriaan, momen yang pas untuk menghabiskan waktu dengan keluarga maupun kerabat. Momen fun ini pula yang dimanfaatkan oleh Tim Medis Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kamp Balukhali, Cox’s Bazar. Tim menjadikan hari Minggu (15/10) sebagai “Hari Anak-Anak” khusus untuk para yatim piatu di lokasi pengungsian Balukhali. Lantas, ada apa saja di hari yang spesial itu?
Selain memberikan pelayanan kesehatan bagi para pengungsi Rohingya, Tim Medis ACT juga memberikan perhatian khusus bagi anak-anak pengungsi di sana. Hari itu, mereka menggelar kegiatan trauma healing. Kegiatan ini ditujukan untuk memulihkan kondisi psikologi anak-anak. Mereka yang bertahan di pengungsi umumnya adalah anak-anak yang kehilangan orang tua dan sanak saudara.
Seperti yang dialami Eva, gadis mungil yang baru menginjak 9 tahun ini harus kehilangan ayah, ibu, dan empat adiknya sekaligus. Ketika tim medis ACT menemuinya di Kamp Balukhali, trauma masih terlihat jelas di wajahnya. Ia lebih banyak diam, sementara tatapannya kosong.
Gadis kecil ini nampak belum mengerti kenapa tragedi ini menimpanya.
Setiap malam Eva masih kerap menangis mencari dan memanggil ayah ibunya. Ia juga kerap menolak makanan yang diberikan kepadanya.
Dr Rizal mengungkapkan, Eva selalu mencari sang Ibu saat malam tiba. Layaknya anak kecil yang masih butuh belaian sang ibu, Eva begitu merindukan keluarganya, hingga terkadang lupa mereka telah pergi dan masih mencarinya.
“Setiap anak mungkin akan melakukan hal yang sama seperti Eva jika mereka berada di posisi yang serupa,” terang dr Rizal.
Tusmina, seorang ibu yang membawa Eva ke kamp pengungsi mengatakan, Eva masih belum bisa melupakan tragedi yang membuatnya jadi yatim-piatu. “Eva lolos dari maut karena saat tentara myanmar datang ke kampungnya, ia tengah berada di luar rumah,” ungkap Tusmina.
Saat itu, tentara melarang penghuni rumah ke luar, kemudian tentara menembaki rumah yang ada dan membakarnya. Eva yang ketakutan lari ke hutan dan bertemu dengan pengungsi lainnya, hingga akhirnya berhasil tiba di kamp pengungsian di Bangladesh.
Kini Eva sebatang kara, hanya Tusmina, perempuan satu kampung yang kini menemaninya di kamp pengungsian. Eva mencoba bertahan hidup bersama 250.000 pengungsi rohingya lainnya di Balukhali. Di kamp pengungsi yang beralaskan tanah, berdinding plastik, Eva adalah satu dari ribuan anak-anak Rohingya lainnya yang harus kehilangan orang tua dan sanak saudara.
Minggu siang itu (15/10), dr Riedha dan dr Rizal mencoba menjemput Eva dari Kamp Balukhali dan membawanya berkumpul bersama anak-anak lainnya di madrasah yang dikelola ACT.
Setiap hari Minggu, Tim Medis ACT secara rutin menggelar pelayanan khusus bagi anak-anak lewat kegiatan trauma healing. Membawa Eva berkumpul bersama anak-anak lainnya diharapkan bisa membantu pemulihan trauma bagi Eva.
Minggu itu (15/10) ada permainan Ram Tam Tam yang menunggu anak-anak tersebut. Tim medis ACT lantas mengajak mereka membuat suatu lingkaran. Berada di dalam lingkaran itu, tim lalu mulai menyanyikan lagu Ram Tam Tam sembari memperagakan gerakan tarian.
“Ram tam tam, guli..guli..guli,” teriak anak-anak Rohingya serempak. Tawa renyah mereka menyelingi kegiatan permainan tersebut. Bayangan horor kematian orang tua dan sanak saudara di kampung halaman mungkin terlupakan untuk sejenak.
Masih banyak yatim piatu Rohingya yang kini berada di Bangladesh. Seperti Eva, tak jarang dari mereka yang menghabiskan setiap harinya dalam lamunan. Meringkuk di tenda pengungsian, memutar ulang kejadian nahas yang menimpa kedua orang tua serta sanak saudara mereka.
Insya Allah, kepedulian Masyarakat Indonesia yang terus mengalir hingga detik ini akan bermuara kepada mereka. Aksi Cepat Tanggap terus berikhtiar untuk membahagiakan mereka, para yatim piatu Rohingya, lewat berbagai program pemulihan pascakonflik.
Penulis Elly Anisyah
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs