Menkeu Bambang Brodjonegoro (kanan) didampingi Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi (kiri) bersiap memberikan keterangan pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (8/3). Menkeu menyatakan sebanyak 4.551 fungsional pemeriksa dan penyidik pajak di seluruh Indonesia akan membantu optimalisasi penerimaan pajak dari Wajib Pajak Orang Pribadi. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz/16.

Jakarta, Aktual.com — Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan skema dana talangan atau “bail-out” tidak lagi menjadi opsi pilihan utama dalam penyelamatan bank sistemik, karena kebijakan itu tidak efektif dan menghabiskan uang negara.

“Tunjukkan ke saya, ‘bail-out’ yang berhasil. Di 2008, ada tidak yang berhasil?” kata Menkeu mengenai kelemahan skema “bail-out” yang tidak tercantum dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) di Jakarta, ditulis Sabtu (19/3).

Menurut dia, skema penyaluran dana talangan untuk membantu bank lebih banyak memiliki sisi negatif, karena membuat bank menjadi tidak mandiri dan hasilnya belum tentu meningkatkan daya tahan bank terhadap krisis.

Untuk itu, pemerintah menghapus pasal pendanaan menggunakan dana APBN dalam UU PPKSK, karena skema “bail-in” atau pencegahan menjadi pilihan utama untuk mencegah jatuhnya sistem perbankan dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

“Kita harus memahami semangat pemerintah dengan parlemen (yang menghapus pasal pendanaan APBN dalam pembahasan UU PPKSK), karena kita tidak ingin APBN cepat-cepat terekspose,” ujarnya.

Menkeu menjelaskan, dalam UU PPKSK, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menjadi garis depan pengawasan bank sistemik, terutama yang berpotensi mengalami masalah solvabilitas, yang didukung oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Skema “bail-in” tersebut diharapkan bisa berjalan efektif melalui koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) serta keinginan dari para pemilik bank agar mau merelakan asetnya untuk menyelamatkan bank.

“UU ini fokusnya pada ‘bail-in’ dan kita menginginkan pemilik modal itu yang berjuang mempertahankan banknya. Jangan hanya mau ambil untungnya saja, tapi dia juga harus menjaga kelangsungan banknya,” ucap Menkeu.

Ia mengharapkan skema “bail-in” ini bisa memberikan rasa aman karena dana nasabah di bank saat ini lebih terjamin dibandingkan krisis finansial pada 1998 dan pengawasan bank lebih baik dibandingkan krisis keuangan pada 2008.

“Sekarang kita punya LPS, jadi deposan tidak harus panik seperti krisis 1998. Sekarang OJK juga sudah ada, waktu krisis 2008 belum ada, sehingga waktu itu pengawasan bank tidak bisa intensif seperti biasanya,” jelas Menkeu.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka