Jakarta, Aktual.com – Dihadapan DPR pada Juni lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan melemah pada tahun 2018 sebesar Rp. 13.400 dan hingga kisaran Rp 13.700-14.000 di 2019. Namun, belum habis tahun 2018, rupiah sudah melampaui kisaran Rp. 14.000 – Rp. 14.400.
ALASKA (Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran) yang terdiri dari Lembaga Kaki Publik (Lembaga Kajian dan Analisis Keterbukaan Informasi Publik) bersama Lembaga CBA (Lembaga Center for Budget Analysis) menilai bahwa dibalik melemahnya rupiah yang terus keluar melampaui batas kisaran yang dikatakan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, dan membuatnya keluar dari batas kesadaran dirinya yang mengatakan bahwa dibalik lemahnya rupiah, Negara untung sebesar Rp. 8 Triliun. Tapi sebetulnya PLN rugi dan harga sembako naik melampau batas seperti telor.
“Untung Negara yang dikatakan menteri keuangan tersebut membuktikan tingkat kecerdasan Sri Mulyani kali ini melampaui batas, sehingga kecerdasan tersebut seperti menghilangkan fakta bahwa Negara berada pada kerugian yang nyata,” kata koordinator Adri Zulpianto, Sabtu (14/7).
Pada kenyataanya, meskipun lemahnya rupiah berdampak pada penambahan pendapatan Negara, namun akibat melemahnya rupiah membuat BI pun turut turun tangan mendorong agar rupiah kembali menguat dengan menggelontorkan uang sebesar Rp. 18 Triliun untuk Intervensi pada pasar sekunder, Sementara di pasar primer yang bukan dalam konteks intervensi BI telah mengeluarkan dana sebesar Rp.42 triliun. Sedangkan, Cadangan Devisa (Cadev) Negara sejak tiga bulan terakhir mengalami penurunan sebanyak USD 5,1 Miliar dari bulan April sebesar USD 124,9 Miliar dan pada akhir Juni menjadi sebesar USD 119,8 Miliar.
Parahnya, akibat pelemahan rupiah yang melampaui kisaran Menteri Keuangan, membuat PLN sebagai BUMN justru merugi sebesar Rp. 6 Triliun karena biaya operasional yang tembus hingga Rp. 10 Triliun, hal ini terjadi karena disetiap pelemahan rupiah sebesar Rp.100, maka biaya produksi PLN meningkat sebesar Rp. 1,3 Triliun.
Konsekuensinya, laba yang didapatkan oleh PLN akan berkurang, sehingga bukan tidak mungkin apabila berkurangnya laba PLN, maka tarif listrik bagi rakyat pun akan kembali dinaikkan seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya ketika laba PLN merosot 71,67% dari sebesar Rp. 15.6 Triliun menjadi Rp. 4,42 Triliun.
Dari kemerosotan laba PLN, ALASKA menilai bahwa pelemahan rupiah pun berimbas pada biaya untuk bertahan hidup yang terus meningkat. Kenaikan harga telur pun sudah mengawali efek lemahnya rupiah yang kemudian akan kuat berimbas pada kenaikan harga di sector industry makanan. Kemudian menyusul pada kenaikan sector manufaktur dan ritel dalam negeri yang mengandalkan bahan produksinya dari sector import.
Maka dari itu, ALASKA menilai bahwa Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan telah gagal menjaga perekonomian dalam negeri, karena selama ini Sri Mulyani terlalu focus berhutang dan mengimport dari luar negeri ketimbang mengembangkan ekonomi dalam negeri dengan menggencarkan eksport barang jadi dan mengembangkan sumber daya alam dalam negeri dengan harga yang tidak diberi murah kepada Negara lain.
“Kami menilai bahwa kegagalan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan selama ini ditengarai karena terlalu focus membuat kebijakan ekonomi dalam negeri lebih menguntungkan bagi Negara lain ketimbang menguntungkan sector ekonomi dalam negeri yang dapat menguntungkan bangsa dan Negara Indonesia,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta