Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pandangannya saat rapat paripurna DPR di gedung, Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9/2018). Menkeu menegaskan krisis di sejumlah negara berkembang berpengaruh terhadap perekonomian negara sekawasan lainnya, termasuk Indonesia. Hal ini diungkapkan untuk menanggapi sejumlah anggota dewan yang menilai pemerintah tidak jujur karena menyalahkan krisis di negara lain dalam menyikapi gejolak perekonomian dalam negeri. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan potensi terjadinya kelesuan kegiatan ekonomi yang mulai terlihat dari kinerja penerimaan pajak hingga April 2019 dibandingkan periode sama 2018.

“Kami melihat tanda-tanda penurunan ekonomi yang terlihat dari perpajakan yang lemah dari sisi pertumbuhan,” kata Sri Mulyani dalam jumpa pers perkembangan APBN di Jakarta, Kamis (16/5).

Sri Mulyani mengatakan pendapatan pajak hingga April 2019 telah mencapai Rp387 triliun atau 24,5 persen dari target dalam APBN sebesar Rp1.577,6 triliun. Namun, realisasi ini hanya tumbuh satu persen dibandingkan periode 2018, padahal tahun lalu penerimaan pajak bisa tumbuh 10,8 persen.

“Kegiatan ekonomi yang cenderung mengalami tekanan dari dalam dan luar, telah terefleksikan ke penerimaan perpajakan,” ujarnya.

Realisasi sementara penerimaan pajak terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas Rp232,7 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp129,9 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan Rp0,3 triliun dan pajak lainnya Rp1,9 triliun.

“Pajak Penghasilan nonmigas ini tumbuh positif 4,1 persen, tapi tahun lalu tumbuhnya bisa lebih tinggi 10,3 persen,” kata Sri Mulyani.

Salah satu pajak nonmigas yang melambat adalah PPh badan yang tercatat Rp94,9 triliun, atau hanya tumbuh 4,9 persen, dibandingkan periode sama tahun 2018 sebesar 23,6 persen.

“PPh Badan tahun ini hanya sedikit di bawah lima persen, karena perusahaan terbuka labanya hanya tumbuh 7,12 persen pada 2018. Ini memperlihatkan korporasi tidak menikmati laba sekuat tahun sebelumnya,” ujarnya.

Selain itu, PPh pasal 22 impor yang mencapai Rp18,71 triliun juga memperlihatkan penurunan, dan hanya tercatat tumbuh 3,8 persen, dibandingkan tahun lalu sebesar 28,7 persen.

Meski demikian, penurunan ini disebabkan oleh kebijakan pengendalian impor barang konsumsi oleh pemerintah yang telah berlaku sejak pertengahan 2018.

Kinerja PPN juga menurun, karena hanya mencapai Rp129,9 triliun, atau tumbuh negatif 4,3 persen dibandingkan periode April 2018 sebesar 14 persen karena adanya kebijakan restitusi pajak.

Kebijakan percepatan restitusi ini telah diberikan kepada masyarakat maupun dunia usaha dengan realisasi hingga April 2019 tercatat Rp62 triliun atau tumbuh 34 persen.

“Kita memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha yang punya reputasi baik, tapi akibatnya penerimaan PPN ada pertumbuhan yang negatif ,” ujar Sri Mulyani.

Secara sektoral, perlambatan penerimaan pajak ini terlihat di sektor industri pengolahan dan pertambangan antara lain karena pengaruh perlemahan harga komoditas maupun restitusi.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan