Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati (tengah) menyampaikan sambutannya pada acara pembukaan acara "Pathways to Prosperity" dalam rangkaian Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 di Bali Nusa Dua Convention Center, Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10). Agenda tersebut membahas tentang perkembangan teknologi untuk pertumbuhan ekonomi. ANTARA FOTO/ ICom/AM IMF-WBG/Nicklas Hanoatubun/wsj/2018

Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengupayakan pendekatan untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital yang selama ini belum dilakukan optimal untuk menambah penerimaan negara.

“Untuk perusahaan yang dianggap digital, teman-teman pajak punya basis penghitungan dengan estimasi berdasarkan data mereka dan nanti disepakati,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (12/6).

Sri Mulyani menegaskan upaya ini harus dilakukan karena setiap kegiatan ekonomi di Indonesia harus dipungut pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Ia memastikan pengenaan tarif pajak penghasilan dari setiap transaksi ekonomi digital akan tetap sama dengan kegiatan jual beli konvensional.

Namun, menurut dia, yang membedakan adalah tata cara pungutan karena Badan Usaha Tetap (BUT) yang terlibat dalam kegiatan ekonomi digital tidak seluruhnya mempunyai perwakilan di Indonesia.

Salah satu pendekatan pungutan yang diupayakan adalah kewajiban perpajakan berdasarkan seberapa banyak transaksi ekonomi atau volume kegiatan yang diperoleh dalam satu negara.

“Karena mereka perusahaan digital, jadi kita lihat how much they generate revenue dalam satu negara yang disebut economic present daripada physical present,” ujarnya.

Pendekatan ini akan dilakukan sembari adanya konsensus bersama dari negara-negara G20 untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital.
Upaya unilateral tersebut selama ini telah dilakukan pemerintah Inggris dan Perancis dalam memungut pajak dari transaksi elektronik.

“Dua negara ini sudah melakukan secara unilateral, walau belum ada approach yang disepakati. Jadi Inggris dan Perancis sudah menyepakati sendiri basis pajak berdasarkan economic present,” jelasnya.

Menurut dia, pendekatan pungutan ini dapat dilakukan secara fair berbasis informasi dari penjualan, iklan maupun data-data lainnya serta mampu terintegrasi apabila telah tercipta kesepakatan global.

“Seandainya pada 2020 prinsip-prinsip ini bisa disepakati oleh G20 maupun lebih dari 100 yuridiksi, maka ada konversi pendekatan unilateral itu menjadi kesepakatan yang bersifat global,” kata Sri Mulyani.

Sebelumnya, Sri Mulyani juga sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 mengenai penetapan BUT pada awal April 2019.

Dalam peraturan ini, Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.

BUT yang dimaksud merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Khusus terkait implementasi ekonomi digital, tempat usaha yang dimaksud sesuai pasal 5 ayat 1 adalah komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet.

Pertemuan Tingkat Menteri Keuangan dan Gubenur Bank Sentral G20 yang baru berlangsung di Fukuoka, Jepang, juga menekankan pentingnya upaya kerja sama internasional untuk mencegah penghindaran pajak.

Berbagai upaya yang dilakukan terhadap tindakan penyelewengan itu termasuk adanya penanganan perlakuan perpajakan untuk kegiatan ekonomi digital.

Saat ini, digital ekonomi telah mengubah model bisnis yang menghilangkan fisik suatu perusahaan sehingga menyulitkan penghitungan kewajiban pajak.

Untuk itu, sebagai upaya mengantisipasi perubahan pola jual beli yang menjadi berbasis elektronik tersebut dibutuhkan sistem perpajakan baru yang inklusif dan adil.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan