Menkeu Sri Mulyanai saat rilis stabilitas keuangan Indonesia di Jakarta, Jumat (3/2). Pembahasan tersebut diikuti oleh Kemenkeu, OJK, Bank Indonesia, dan LPS ini memandang stabilitas keuangan nasional dari berbagai aspek. AKTUAL/Tino Oktaviano
Menkeu Sri Mulyanai saat rilis stabilitas keuangan Indonesia di Jakarta, Jumat (3/2). Pembahasan tersebut diikuti oleh Kemenkeu, OJK, Bank Indonesia, dan LPS ini memandang stabilitas keuangan nasional dari berbagai aspek. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengaku masih kebingungan dengan rendahnya pajak penerimaan dari APBN atau APBD di daerah masing-masing.

Padahal dengan belanja, pemerintah pusat dan daerah yang terus tinggi mestinya penerimaan dari pajaknya juga harusnya lebih tinggi. Tapi dalam beberapa tahun ini tak terjadi. Makanya, pihaknya pun mengaku akan melakukan evaluasi.

“Pada tahun 2015 lalu kegiatan pajak yang berasal dari APBN hanya menghasilkan Rp84 triliun, sementara di tahun lalu hanya Rp86 triliun. Padahal belanja negara setiap tahunnya selalu meningkat,” ungkap Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (12/9).

Pajak APBN adalah pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi yang bertumbuh setelah adanya pengucuran belanja pemerintah pusat dan daerah yang setiap tahun meningkat. Seperti penghasilan dari pajak pasal 21 dan pasal 23 dari belanja barang dan modal dari kementerian atau lembaga.

“Saya sudah menyampaikan pada jajaran saya, kalau saya lihat postur APBN saya, mestinya saya bisa mendapatkan penerimaan yang lebih besar dari itu. Dan inilah tantangan yang terus saya sampaikan kepada jajaran Kemenkeu,” klaim dia.

Sri Mulyani menegaskan, penerimaan pajak dari APBN dan APBD sebetulnya bisa dihitung. Contohnya dari belanja negara yang sekitar Rp2.133 triliun dalam APBN-P 2017, harus ada dampak ke perekonomian, seperti penerimaan pajak penghasilan (PPh) anggaran gaji pegawai yang dipotong PPh Pasal 21.

Kemudian, bisa juga mengukur potensi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% yang didapat dari transkasi belanja yang menghasilkan pajak masukan dan pajak keluaran. Atau dalam Pasal 23 dari belanja barang dan belanja modal K/L.

“Sekarang saya minta untuk dihitung ulang jumlahnya, pasti jauh lebih besar dari Rp86 triliun atau Rp87 triliun yang dikumpulkan selama ini. Ini menunjukkan bahwa potensi yang bisa dikontrol itu tidak bisa didapatkan secara optimal,” dia mengaku.

Menurutnya, dengan penghasilan dari pajak APBN yang kecil itu, jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan total penerimaan perpajakan secara keseluruhan.

“Kalau bicara persentasenya itu dia hanya menyumbang 7,9% atau bahkan tahun 2016 itu menjadi 7,8% dari penerimaan,” kata Menkeu.

Dia berharap semua pihak ikut mengawasi Pajak APBN ini, salah satunya Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). menjadi hal yang penting untuk dapat melakukan pengawasan potensi penerimaan. Pasalnya dari belaja barang dan modal belum sesuai dengan yang seharuanya.

“Kalau pajak pasal 21 kan gampang, orang menerima gaji, dan sudah dipotong dari pengeluaran personel. Tapi kita belum cukup mampu untuk bisa mengumpulkan yang sesuai dengan yang seharusnya dari pajak PPN belanja barang dan modal yang sesuai dengan transaksi yang terjadi. Ini harus diawasi,” perintah dia.
Laporan Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: