“Melainkan kebijakan ini harus menjadi instrumen kebijakan fiskal yang efektif bagi publik dan tetap melindungi kelompok MBR,” tutur dia.
Karenanya, kata dia, ukuran kinerja perpajakan tidak tepat jika hanya diukur dari capaian rasio pajak dan pencapaian target APBN, tanpa memperhatikan formulasi dan implementasi insentif atau fasilitas perpajakan dan efek ganda yang diciptakannya.
Dia menegaskan, jika dibandingkan negara lain, formulasi PTKP Indonesia memang jauh tertinggal karena hanya memasukkan komponen biaya hidup minimum yang standar. Makanya jika pun wacana merevisi PTKP terus berjalan harus menciptakan rasa keadilan yang kuat.
“Salah satunya menggunakan model zonasi. Ini dimungkinkan mengingat gap penghasilan dan UMP antarwilayah yang cukup lebar,” kata dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid