DUA pekan terakhir, publik mengkritisi rencana pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mendatangkan investor asing dari sektor pariwisata. Progresif caranya, jika tidak dikatakan ‘kebablasan’.
Upaya menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dari sektor unggulan ini diharapkan dapat mendongkrak perekonomian nasional. Selain dapat pajak, meningkatnya kunjungan wisatawan manca juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru, kata Luhut, Senin 9 Januari 2017.
Sampai disini, rencana Luhut positif adanya. Masalahnya, upaya menghadirkan pelancong asing itu bersinggungan dengan kedaulatan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Yakni dengan diizinkannya investor asing melabeli sendiri sekitar 4.000 pulau tanpa nama di Indonesia.
Luhut mengakui bahwa rencana tersebut salah satunya datang dari calon investor dan pelancong asing. Alasan mereka, jika suatu hari datang lagi ke Indonesia akan dengan mudah datang ke pulau yang telah dilabeli nama asing tersebut.
Pulau yang telah dilabeli nama asing tetap milik Indonesia. Dengan proses pelabelan nama pulau asing yang tidak mudah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam hal ini turut memegang kendali proses penamaan pulau dimaksud.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, Senin (17/1), menyatakan, keberadaan pulau-pulau belum bernama menyangkut kedaulatan negara. Keberadaannya harus dijaga agar tidak diganggu pihak asing. KKP akan mendata, menata, menertibkan dan menamai pulau tak bernama di seluruh tanah air.
Diakuinya, pihak swasta dan asing bisa membeli dan memiliki pulau di Indonesia. Namun itu tidak termasuk penamaan pulau. Penamaan hanya diperbolehkan sebatas nama bisnis dari pihak swasta atau asing. Itu saja, prosesnya tidak mudah. Mereka harus memenuhi sejumlah syarat yang sangat ketat.
Sesuai ketentuan, penguasaan pulau oleh perorangan atau badan maksimum sebesar 70 persen dari luas area yang ada, sisanya 30 persen tetap milik negara. Dari 70 persen yang dikuasai swasta dan asing, baik perusahaan atau perorangan, mereka harus menyediakan sebesar 30 persen untuk lahan hijau atau akses publik.
Ketentuan dimaksud, kata Susi, telah disepakati bersama antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kepolisian dan Pemerintah Daerah. Pemerintah ditekankan dia tidak akan membiarkan satu pulau pun dikuasai oleh swasta dan asing secara sewenang-wenang.
Saat ini, disampaikan tercatat sudah 13.466 pulau Indonesia yang telah terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 1.106 pulau telah terverifikasi dan belum didaftarkan dan 2.800 pulau dalam tahap identifikasi.
Sementara Mendagri Tjahjo Kumolo, Rabu (19/1) kemarin, menyatakan, keberadaan pulau-pulau tanpa nama itu berada di wilayah NKRI. Alangkah baiknya jika penamaan pulau mengakomodir nilai, budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat.
Misal benda dan alat bersejarah yang menjadi ciri khas daerah dimaksud, kerajinan, tokoh dan pahlawan atau nama-nama satwa dan tanaman khas daerah setempat. Pemerintah daerah dalam hal ini memegang peranan penting dalam penamaan pulau tersebut bersama DPRD.
Bagi Tjahjo, bendera Indonesia adalah satu yakni merah putih dan tidak ada yang lain. Sejak awal kepemimpinannya di Kemendagri, pihaknya sudah memerintahkan kepala daerah untuk melaporkan keberadaan pulau-pulau tanpa nama. Hanya saja, sampai detik ini kepala daerah belum melaporkan.
Investor swasta dan asing boleh saja melirik pulau tanpa nama di Indonesia, namun penamaan pulau tetap berada di tangan pemerintah. Rencananya, Kemendagri akan mempermudah regulasi penamaan pulau tanpa nama agar tidak prosesnya tidak kepanjangan.
Selama ini, pembahasan rancangan peraturan daerah mengenai penamaan pulau ini terlalu rumit. Semuanya akan lebih mudah jika regulasinya disederhanakan sehingga tidak berlarut-larut dan memunculkan kegaduhan baru sewaktu-waktu.
Artikel ini ditulis oleh: