Yudi Latif
Yudi Latif

Saudaraku, mental primordial budaya Nusantara itu punya daya lenting seluas dan sedalam samudra, yang bisa menyerap unsur-unsur budaya luar tanpa mencemari dan melenyapkan jati dirinya.

Pada 1927, pemikir dan sastrawan India paling terkenal Rabindranath Tagore berkunjung ke Pulau Jawa dan Bali. Di sana ia menemukan bayangan India yg tenteram dalam pangkuan Nusantara. Memandang Candi Borobudur secara keseluruhan, ia merasa seperti melihat India, yang tidak menimbulkan kesan mendalam. Begitu memasuki teras candi paling bawah, ia terpukau dengan relief-relief Jataka karena keindahan dan jiwa spiritualitas yang terpancar darinya.

Menyaksikan pertunjukan sendratari Ramayana dan Mahabharata, Tagore menyatakan, “Orang Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu sebagai tonil daripada orang Hindu sendiri.” Lantas ia simpulkan, “Aku melihat India di mana-mana di Pulau Jawa, tetapi tidak tahu di mana sisi India yang sesungguhnya.”

Clifford Geertz menengarai pandangan dunia religi primordial di Nusantara ini bersifat iluminasionisme. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan pasangan-pasangan yang saling mengidentifikasi, saling melengkapi, saling bergantung yang terpancar dari sumber yang sama.

Pandangan hidup modern, yang berbasis pada logika Aristotelian, menolak entitas kontradiktif yang mengakui adanya kebenaran pada kedua sisi yang saling bertentangan. Namun, dalam logika primordial suku-suku bangsa di Indonesia, segala sesuatu itu bersifat mono-dualisme atau mono-pluralisme. Hidup berkembang dalam logika dwitunggal, loro-loroning atunggal (dua yang menyatu). Bahkan, yang “beragam itu” (Bhinna ika) pada dasarnya bisa dilihat sebagai “satu itu” (tunggal ika). Segala Keragaman yang saling bergantung itu merupakan pancaran (iluminasi) dari “Yang Esa” (Tuhan), yang tidak bergantung.

Dengan pandangan hidup seperti itu, etos budaya Nusantara bersifat adaptif, gradualistik, estetik dan toleran. Perbedaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau paling jauh hanya bisa ditoleransi selama tak membahayakan. Sebaliknya, perbedaan harus diterima secara riang gembira sebagai bagian dari kesempurnaan hidup, yang menimbulkan semangat untuk saling menyerap, saling berbagi, saling menghormati.

Makrifat Pagi, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin