“Lalu apa yang dimaksud dengan kesepakatan pembangunan smelter sekarang? Apa kembali ke model lama yang hanya dengan memberikan dana jaminan kesungguhan untuk pembangunan smelter? Tentu akan lucu kalau kembali pada model lama, karena itu tidak berhasil menekan perusahaan bangun smelter,” tandas dia.

Bahkan, kata dia, dengan perubahan kontrak karya (KK) menjadi IUPK, posisi pemerintah harus siap. “Mestinya, mereka mau mengubah KK menjadi IUPK itu karena mereka mau mengikuti syarat dari kita, bukan syarat mereka yang mengendalikan kita,” tandasnya.

Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti menambahkan, ada yang janggal dari hasil pertemuan antara Jonan Freeport McMoran itu. Di tengah anggapan adanya kemajuan dari proses negosiasi, Freeport tetap meminta adanya perjanjian kerjasama kedua pihak sebagai bentuk jaminan kepastian investasi.

“Mestinya, permintaan Freeport untuk membuat perjanjian kerjasama secara terpisah harus ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena tidak diatur di dalam UU. Kan sudah ada IUPK, yaitu penetapan dari Menteri ESDM yang dijamin oleh UU. Dan Pemerintah harus konsisten dengan bentuk hukum yang telah disepakati dan diatur di dalam UU itu,” tuturnya.

Menurut Rachmi, Perjanjian Kerjasama secara terpisah hanya akan menempatkan Pemerintah Indonesia dibawah kendali Freeport. Apalagi, secara logika hukum perjanjian itu akan mengikat Pemerintah Indonesia secara perdata.

“Dan menjadi konsekuensi logis dimana para pihak akan menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketanya, yang biasanya lebih memilih arbitrase internasional. Itu yang akan merugikan Indonesia,” kata dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid