Hal itu terlihat di Pasal 2A ayat (1), yaitu PMN yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau PT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau PT lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Artinya, itu mau memindahkan dan menjual aset BUMN, tapi secara diam diam,” kata dia.
Keempat, lanjut dia, justru yang paling berbahaya yakni pembentukan holding BUMN ini berarti menjadikan BUMN yang ada sekarang seluruhnya adalah anak perusahaan dari holding. Ini membuat BUMN yang semula besar setelah jadi anak holding, menjadi kian murahan.
“Karena sebagai anak perusahaan boleh dijual penuh kepada swasta yang penting perusahaan induknya masih lebih dari 50% dikuasai oleh negara. Ini tampaknya merupakan dagelan tingkat tinggi,” kecamnya.
Disebut Daeng, kondisi itu terjadi karena negara ini dipimpin oleh para CEO, mantan CEO perusahaan swasta, dibantu oleh ekonom-ekonom yang tiap saat bekerja untuk memperkaya taipan dan asing. Sehingga pada akhirnya menyisahkan ratusan juta kemiskinan.
“Ingat, bahwa ketimpangan ekonomi yang sangat dahsyat yang melanda negara ini, bukan karena negara Indonesia miskin. Akan tetapi kekayaan negara ini dijarah oleh segelintir orang dengan menggunakan tangan penguasa,” pungkasnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan