Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)
Jakarta, aktual.com – Indonesia kerap membicarakan mimpi besar bernama Indonesia Emas. Namun pertanyaan mendasarnya jarang diajukan secara jujur: emas untuk siapa? Selama struktur ketatanegaraan masih menempatkan rakyat sebagai objek, bukan pemilik negara, maka kemajuan apa pun akan rapuh. Karena itu, Indonesia Emas hanya mungkin terwujud jika dimulai dari pemulihan kedaulatan rakyat secara utuh.
Masalah utama Indonesia hari ini bukan sekadar kualitas pemimpin, melainkan arsitektur negara yang keliru. Pasca-amandemen UUD NRI 1945, terjadi pergeseran besar: rakyat tetap disebut sebagai pemilik kedaulatan, tetapi kehilangan alat untuk menguasai dan menjalankannya. Negara semakin identik dengan pemerintah, sementara rakyat kian jauh dari pusat pengambilan keputusan strategis.
Untuk menjelaskan problem ini secara sederhana, analogi rumah tangga cukup membantu. Negara adalah rumah. Rakyat adalah pemilik rumah dan sumber kehidupan. MPR adalah kepala negara sekaligus mandataris rakyat. Presiden hanyalah kepala pemerintahan—pelayan publik yang dipekerjakan untuk mengurus urusan sehari-hari. TNI dan Polri adalah penjaga rumah, bukan pemilik rumah.
Masalahnya, sejak Amandemen Ketiga UUD NRI 1945 tahun 2001, hubungan struktural antara rakyat dan MPR terputus. Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” diubah menjadi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Secara formal tampak netral, tetapi secara struktural, rakyat kehilangan mandataris yang menjalankan kedaulatannya. Inilah yang dapat disebut sebagai perceraian konstitusional antara rakyat dan MPR.
Akibatnya, presiden naik menjadi figur paling dominan, lembaga negara bercampur dengan lembaga pemerintah, dan aparat keamanan kerap salah memahami siapa majikannya. Rakyat pun berada dalam posisi paradoks: memiliki kedaulatan di atas kertas, tetapi tidak dilindungi secara struktural dalam praktik.
Untuk keluar dari kebuntuan ini, diperlukan perubahan struktur ketatanegaraan, bukan sekadar pergantian orang. Gagasan Struktur Ketatanegaraan Indonesia Emas 2026 berangkat dari satu tujuan utama: mengembalikan kedaulatan rakyat sebagai fondasi negara.
Secara teoritis, terdapat enam opsi menuju pemulihan kedaulatan rakyat: dekrit presiden, konvensi nasional, referendum rakyat, perubahan melalui parlemen, revolusi massa (people power), atau kudeta militer. Metodenya berbeda, tetapi tujuannya sama: mengantar bangsa ke tahap awal pemulihan kedaulatan rakyat, yaitu reset struktural.
Tahap awal tersebut mencakup pembubaran DPR, MPR, dan partai politik sebagai langkah transisi, diikuti oleh Musyawarah Kenegaraan Nasional. Selanjutnya dibentuk Dewan Negara sementara, konsultasi publik atau semi-referendum, pembentukan MPRS sementara, lalu MPR definitif. Setelah TAP MPR ditetapkan sebagai dasar hukum baru, dibentuk komisi pemilu dan referendum nasional, diverifikasi ulang partai politik dan kanal independen, disusun tahapan pemilu, hingga akhirnya digelar pemilu dan pelantikan pemerintahan baru.
Jika tahapan ini dijalankan secara tertib dan bermartabat, hasilnya adalah Indonesia Emas 2026 dengan ciri utama: rakyat kembali menjadi pemilik dan pusat kedaulatan; negara dan pemerintah dipisahkan secara tegas; lembaga negara tidak lagi dikendalikan oleh kepentingan elektoral jangka pendek.
Yang paling fundamental, anggota MPR tidak lagi berasal dari partai politik, melainkan dari unsur cendekiawan, rohaniawan, budayawan, serta perwakilan TNI dan Polri sebagai penjaga negara, bukan aktor politik. Dengan demikian, MPR kembali menjadi majelis hikmah, bukan arena transaksi kekuasaan.
Indonesia Emas bukan soal angka pertumbuhan atau slogan pembangunan. Ia adalah soal keberanian menata ulang negara agar kembali pada pemiliknya yang sah: rakyat. Tanpa itu, emas hanya akan menjadi cat di permukaan, bukan logam mulia dalam struktur bangsa.
Indonesia Emas 2026 bukan utopia. Ia adalah pilihan politik dan konstitusional. Dan pilihan itu hanya satu: mengembalikan kedaulatan rakyat secara penuh, sah, dan bermartabat.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain















