Jakarta, Aktual.com-Berbagai kegiatan yang mengatasnamakan alumni Aksi Bela Islam 212 semakin intensif, baik dalam bentuk aksi demonstrasi, diskusi di ruang terbuka maupun tertutup hingga publikasi di berbagai media. Tak hanya itu, pada awal Desember bulan depan, tepatnya pada 2-12 -2017 mendatang, akan dilaksanakan Reuni Akbar dan Kongres Nasional.
Upaya melembagakan alumni 212 dan berbagai kegiatan yang dilakukan, tentu menimbulkan pertanyaan publik, apa tujuan di balik itu.
Jika dilihat dari isu-isu yang mereka usung, tercium aroma politik yang cukup menyengat. Karenanya, sulit untuk mengatakan gerakan tersebut murni kegiatan keagamaan. Publik belum lupa tentang berbagai aksi yang mereka lakukan pada saat bertepatan dengan momentum pilkada DKI Jakarta yang baru berlalu. Peristiwa politik berbau sara itu masih terekam sangat baik dalam memori publik. Banyak masyarakat yang cukup cerdas memahami apa yang terjadi dibalik aksi yang mereka lakukan pada saat itu. Karena sesungguhnya tidak sulit untuk menangkap pesan yang disampaikan dalam aksi-aksi tersebut walau dibungkus dengan kegiatan keagamaan sekalipun. Serapi apapun mereka menutupi kepentingan politik yang bersemayam di balik gerakan tersebut, tak akan mampu membendung aroma politik yang terlalu menyengat.
Sulit dipungkiri aksi-aksi yang diberi judul “Bela Islam” tersebut ada target politik di balik itu untuk membendung Ahok-Djarot memenangi pilkada DKI.
Kasihan umat di bawah yang jujur, polos dan tulus dalam melaksanakan keyakinan agama telah menjadi korban pengaruh propaganda politik yang diberi stempel “Bela Islam”.
Karena upaya mereka sukses di Pilkada DKI Jakarta, maka timbul keinginan dari sebagian orang yang terlibat dalam membidani aksi bela islam untuk melembagakan peserta aksi 212 dalam bentuk organisasi. Rencana penyelenggaraan kongres merupakan bukti ada upaya membangun institusionalisasi atau pelembagaan terhadap peserta yang terlibat aksi bela Islam 212. Lalu apa tujuan melakukan istitusionalisasi di tengah tahun politik saat ini? Menururt saya sangat sulit untuk mengatakan tidak ada tujuan politik tertentu. Berbagai manuver yang telah dilakukan menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa upaya institusionalisasi peserta aksi bela Islam menjadi organisasi formal karena ada kepentingan politik, baik dalam pilkada serentak 2018 maupun pemilu nasional yang akan digelar pada 2019 mendatang. Salah satu indikatornya adalah sejumlah isu berbau SARA yang mulai bertebaran. Kita bisa mencatat sejumlah isu yang muncul di tahun politik ini antara lain isu jangan pilih partai pendukung penista agama dan jangan pilih calon kepala daerah yang diusung oleh partai pendukung penista agama. Jangan pilih kepala daerah yang kafir, dan sebagainya. Isu tersebut jelas berhubungan dengan agenda politik ke depan yang pelaksanaannya sudah di ambang pintu.
Karenanya, nampak ada korelasi antara keinginan melembagakan alumni 212 secara permanen melalui forum kongres yang akan digelar bulan depan dengan agenda tujuan politik ke depan.
Nampaknya, kelompok yang mengatasnamakan alumni 212 tersebut ingin mengulang kesuksesan di pilkada DKI Jakarta yang berhasil membendung Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat memimpin Jakarta. Mereka bermimpi kesuksesan pilkada DKI dapat terulang di pilkada daerah lain. Tentu isu yang dibangun tidak sama persis seperti pilkada DKI, tetapi ada modifikasi isu sesuai kondisi dan realitas politik yang ada di masing-masing daerah. Begitu pun dalam memainkan agenda politik nasional dan pemilu 2019, tentu ada modifikasi dalam berbagai varian isu. Namun ada satu ciri khas yang dibangun sebagai isu utama (main issues) dan isu inti (core issues) yakni membangkitkan sentimen agama dan etnis. Mereka memanfaatkan dan menyalahgunakan tren politik identitas yang sedang merebak. Maka daripada terus-menerus menyembunyikan agenda politik, alangkah baiknya alumni 212 menjadi organisasi partai politik agar dapat memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Namun, cara dan metode gerakan politik yang membangkitkan sentimen SARA dalam bentuk apapun sangat membahayakan dan mengancam keutuhan bangsa dan negara. Merusak nilai-nilai toleransi yang sudah terbangun dan diikat oleh prinsip bhineka tunggal ika dengan falsafah Pancasila sebagai dasar negara dan UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusi. Oleh karena itu, cara cara berpolitik seperti itu harus segera ditinggalkan demi menjaga ketuhan bangsa. Karena, cara cara berpolitik dengan menggunakan sentimen sara untuk mencapai tujuan adalah bentuk berpolitik memecah belah, politik yang mengabaikan etika dan moral.
Oleh: Karyono Wibowo (Pendiri The Indonesian Public Institute)
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs