Pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri pada Minggu 8 Juli lalu, sangat unik dan mungkin hanya ada di Indonesia. Menggambarkan adanya sesuatu yang tidak lazim di balik kenyataan yang terlihat.
Kalau selama ini terkesan Jokowi adalah petugas partai yang sepenuhnya berada dalam orbit pengaruh Megawati selaku Ketua Umum PDIP, rasanya terlalu sederhana. Kalau melihat pesan tersirat dari komunikasi verbal yang terlihat melalui media, Jokowi dan Mega duduk berseberangan. Mengisyaratkan pesan bahwa mereka berdua bertemu untuk berunding mencapai pemufakatan. Artinya, Jokowi justru membawa agenda politik yang justru hendak diselaraskan dengan agenda strategis Megawati.
Selama ini sudah terbetik kabar cukup santer bahwa beberapa pemain kunci yang ada di lingkar dalam pemerintahan Jokowi yaitu Luhut Binsar Panjaitan, Teten Masduki, dan patron dari balik layer, pengusaha Arifin Panigoro, sangat berhasrat agar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dijadikan Wakil Presiden mendampingi Jokowi sebagai capres untuk maju ke Pilpres 2019.
Sementara pada pihak lain, Megawati dan Jusuf Kalla yang mengikat persekutuan politik sejak Pilpres 2014 melalui skema koalisi lintas partai(PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura), tidak menghendaki Sri Mulyani sebagai cawapres Jokowi. Idealnya, menurut sumber informasi Aktual, Mega lebih sreg jika JK tetap wapres pendamping Jokowi dengan berbagai pertimbangan. Hanya saja, setelah putusan MK beberapa waktu berselang, agaknya JK tertutup peluangnya untuk tetap jadi wapres pendamping Jokowi.
Begitupun, Mega tetap berupaya menjaga aliansi strategis dengan JK, dengan menyepakati seorang cawapres yang bertumpu pada kesepakatan Mega dan JK. Sehingga koalisi PDIP-PKB-Hanura-Nasdem tetap bisa dipertahankan. Maka muncullah wacana cawapres Jokowi seperti, Mahmud MD, Tito Karnavian, Tuan Guru Bajang dan bahkan mencuat juga sosok Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.
Di balik pertemnuan Batu Tulis, Jokowi bertemu Mea membawa aspirasi para tokoh politik non-struktural PDIP seperti Arifin Panigoro dan Luhut Panjaitan untuk mendesak Mega agar jadi cawapres Jokowi. Atau setidaknya, jika pun harus berkompromi, memunculkan sosok alternatif namun tetap dalam skema Luhut dan para tokoh politik non-struktural PDIP seperti Arifin atau Teten Masduki yang sejak berhenti sebagai Kepala Kantor Staf Presiden, menjadi coordinator staf khusus Presiden Jokowi.
Pemain penjembatan antara para tokoh PDIP non-struktural yang dimotori oleh Luhut tersebut adalah Pramono Anung, yang saat ini menjadi sekretaris kabinet pemerintahan Jokowi. Pramono Anung sudah menjalin kedekatan personal dengan Arifin Panigoro sejak masih mahasiswa di ITB Bandung. Kebetulan keduanya sama-sama berkiprah dalam bisnis perminyakan dan energi.
Namun jika skema menyawapreskan Sri Mulyani menemui jalan buntu, Luhut Cs masih punya alternative lain, yaitu dengan mewacanakan Airlangga Hartarto sebagai cawapres. Sosok alternatif dipandang cukup pas juga. Selain kenyataan saat ini merupakan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga secara klan politik nyambung dengan kepentingan strategis kubu Luhut dan Arifin Cs.
Ayah Airlangga, Hartarto, merupakan sahabat karib mantan Menko Ekonomi era Suharto, Ginandjar Kartasasmita. Pada saat menjelang Suharto lengser pada 22 Mei 1998, Ginandjar dan Hartarto termasuk motor penggerak pengunduran diri 14 menteri dari kabinet pemerintahan Suharto.
Dengan demikian, disamping wacana beberapa nama seperti Mahfud MD, Tito Karnavian, Tuan Guru Bajang dan Budi Gunawan, dari kubu luhut Cs mewacanakan Sri Mulyani dan Airlangga.
Namun mengingat simbiosis mutualisme antra Mega dan JK, dan mengingat beberapa fakta lapangan hasil Pilkada baru-baru ini bahwa di segelintir daerah yang mana PDIP berhasil memenangi calonnya sebagai gubernur seperti Ridwan Kamil di Jawa Barat maupun Nurdin Abdullah di Sulawesi Selatan, kontribusi JK dalam kemenangan itu tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Bahkan di Jawa Barat, kemenanan Ridwan Kamil sejatinya merupakan kemenangan koalisi partai-partai yang menginduk kepada JK. Adapun TB Hasanudin yang diusung PDIP, sejatinya hanya untuk menyatukan suara pemilih PDIP yang sebenarnya sangat kecil di Jawa Barat, agar tidak lari ke calon gubernur yang merupakan pesaing utama Ridwan Kamil yaitu Sudrajat.
Dengan konstelasi hasil Pilkada ini saja, Mega sangat beresiko jika menyetujui skema Luhut Cs untuk menyalonkan Sri Mulyani atau Airlangga. Sebab konstituen politik maupun beberapa kader kunci Nasdem dan Hanura sejatinya merupakan eksponen kader-kader Golkar yang berpatron pada Jusuf Kalla.
Dengan ditariknya dukungan Nasdem dan Hanura, apalagi PKB, pada perkembangannya Mega dan PDIP akan kehilangan dukungan massa Islam tradisional yang punya ikatan emosional dengan JK. Sebab ketiga partai yang tergabung dalam koalisi dengan PDIP itu, punya basis suara massa Islam tradisional.
Mengingat kemungkinan besar pertemuan Batu Tulis menemui jalan buntu, maka pada Selasa 10 Juli lalu, Airlangga selaku Ketua Umum Golkar bertemu dengan SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat.
Apakah ini sekadar membahas soal pergeseran koalisi dukungan? Agaknya lebih strategis daripada sekadar soal perpindahan haluan dukungan politik. Pertemun Airlangga-SBY mengisyaratkan bahwa pertemuan Batu Tulis menemui jalan buntu. Artinya, Skema Luhut Cs agar Sri Mulyani atau Airlangga jadi cawapres Jokowi ditolak.
Sehingga pertemuan Airlangga-SBY, sejatinya kemungkinan terjadinya kembali Regrouping Politik antara Ginandjar Kartasasmita dan SBY sebagai dua Patron besar politik di balik kartel politik Indonesia saat ini.
Yang masih sulit diraba adalah, apakah alianst strategis dua patron besar politik ini akan bersepakat dengan opsi mendukung Prabowo, atau akan mengajukan capres alternative di luar Jokowi dan Prabowo.
Namun dengan mencermati konstelasi pasca pertemuan Batu Tulis, apapun opsi yang dipilih nanti, pertemuan Airlangga dan SBY mengisyaratkan akan munculnya sebuah aliansi strategis baru yang dimotori oleh Ginandjar Kartasasmita dan SBY.
Nampaknya, para anggota Matzuzaki Club yang terdiri dari SBY, Arifin Panigoro, Fahmi Idris, Aburizal Bakrie, Marzuki Darusman, dan Osman Sapta, akan menyatu kembali dan memotori aliansi strategis baru menjelang Pilpres 2019.
Bukan suatu hal yang kebetulan, jika Osman Sapta saat ini selain mengawal Dewan Perwakilan Daerah (DPD), juga semakin menguat posisinya di Partai Hanura, dengan dukungan solid dari beberapa eksponen aktivis 1998 yang duduk dalam kepengurusan Hanura di tingkat nasional maupun daerah.
Hendrajit, Redaktur Senior