Jakarta, Aktual.com – Sebagai tindak lanjut pembenrukan Holding BUMN Migas yang ditetapkan pemerintah melalui PP No.6 Tahun 2018 pada Februari 2018 yang lalu, Kementrian BUMN (KBUMN) telah memutuskan akan mengonsolidasikan bisnis PT Pertamina Gas (Pertagas) dengan Perusahaan Gas Negara (PGN) melalui skema akuisisi. Proses akuisisi Pertagas oleh PGN ini ditargetkan selesai pada Agustus 2018. Apakah skema akuisisi Pertagas oleh PGN merupakan pilihan yang terbaik bagi negara dan rakyat? Mari kita cermati.
Sebelumnya, Deputi Bidang Pertambangan dan Industri Strategis KBUMN Fajar Harry Sampurno pemah mengatakan bahwa ada tiga opsi skema konsolidasi Pertagas dan PGN yang dapat ditempuh, yakni merger, inbreng (penyerahan atas saham) Pertamina di Pertagas ke PGN, dan akuisisi saham Pertagas oleh PGN. Dikatakan proses akuisisi hanya membutuhkan waktu sekitar 4 bulan, sedang proses merger butuh waktu lebih dari 1 tahun. Karena pertimbangan waktu, maka yang dipilih KBUMN adalah skema akuisisi.
Fajar juga mengatakan skema merger lebih murah karena tidak memerlukan dana tunai untuk penyelesaian. Namun skema ini akan mendilusi otoritas kedua perusahaan. Sedangkan skema akuisisi membutuhkan dana yang besar, tetapi memberi otoritas yang absolut bagi pembeli saham. Kita berharap konsolidasi kedua perusahaan tidak hanya dibatasi untuk harus memilih satu dari ketiga skema/opsi dan hanya mempertimbangkan aspek dana dan waktu. Kepentingan strategis negara dan publik sesuai konstitusi harus menjadi pertimbangan utama.
Sejak semula IRESS memang mendukung pembentukan Holding BUMN Migas, karena dengan Holding akan tercipta sinergi, eflsiensi dan efektivitas pengelolaan industri migas nasional. Holding juga akan meningkatkan leverage, value dan kapasitas investasi korporasi ke depan. Karena itu, holding BUMN ini pun harus berkembang bukan saja menjadi perusahaan migas, tetapi menjadi perusahaan energi yang terus membesar. Sehingga Holding BUMN diharapkan akan mampu menyediakan kebutuhan energi yang terns meningkat secara berkelanjutan, serta siap pula bersaing di kancah global.
Namun, terkait konsolidasi Pertagas dengan PGN yang sedang berlangsung saat ini, IRESS khawatir bahwa skema akuisisi bukan merupakan langkah terbaik, karena beberapa hal berikut. Pertama, j ika ingin menjamin dominasi penguasaan negara sesuai konstitusi, mestinya perusahaan yang pemilikan saham negara lebih tinggilah yang mengakuisisi perusahaan yang saham negaranya kecil, bukan sebaliknya. Hal ini telah diterapkan pada Holding BUMN Tambang, di mana Inalum, karena 10000 milik negara, telah ditetapkan sebagai pemimpin Holding, meskipun ukurannya lebih kecil dibanding PT BA atau PT Antam.
Kedua, dengan terus turunnya laba bersih PGN dalam 5 tahun terakhir, berkisar dari US$ 891 juta pada 2012 menjadi US$ 143 juta pada 2017 (turun 84°01), ada kekhawatiran bahwa skema akuisisi yang ditempuh lebih ditujukan untuk melindungi investasi pemegang saham publik dibanding untuk memberi manfaat optimal bagi negara melalui aset-aset yang ada di Pertagas dan PGN, serta memberi keuntungan terbesar bagi perusahaan induk holding. Jika diperbandingkan, temyata laba bersih PertagaS dalam kurun waktu yang sama CUkup stabil, yakni berkisar dari US$ 122 juta pada 2012 menjadi USS 141 juta pada 2017.
Jika diperhatikan lebih rinci, aset PGN memang meningkat cukup tinggi, yakni dari US$ 2,91 miliar pada 2012, menjadi US$ 6,29 miliar pada 2017. Dalam kurun waktu yang sama, aset Pertagas hanya meningkat dari US$ 727 jUta menjadi US$ 1,93 miliar. Namun, temyata tingkat return on asset (ROA) PGN dalam 5 tahun terakhir justru lebih buruk, turun dari l9°o menjadi 2%, yakni turun sebesar -41%. Sedangkan ROA Pertagas justru lebih baik, yakni turun dari 12% menjadi 7%, atau turun hanya sebesar -11,7%. Kondisi ini tidak mengunrungkan bagi investor (pemegang saham) asing di PGN.
Ketiga, proses konsolidasi melalui akuisisi ingin dituntaskan dengan cepat tanpa memperhatikan kajian aspek-aspek terkait secara komprehensif, termasuk dalam hal organisasi, kelembagaan dan SDM. Hal ini berpotensi merugikan keuangan negara. Dalam hall muncu pula kekhawatiran perihal adanya kepentingan oknum-oknum tertentu untuk berburu rente melalui berbagai kegiatan yang terkait dengan penyelesaian proses akuisisi, termasuk dalam hal penetapan nilai kapitalisasi (100%) saham Pertagas dan konsultan penilai.
Keempat, proses konsolidasi dilakukan dalam kondisi organisasi dan manajemen Pertamina sedang tidak optimal. Sebagai pimpiIlan hoIding yang telah memperoleh penyerahan saham (inbreng) pemerintah di PGN, mestinya Pertamina memegang peranan yang dominan dalam proses konsolidasi. Yang terjadi adalah direksi Pertamina dirombak tiga kali dalam 2 tahun terakhir, Direktorat Gas sebagai salah satu lini bisnis penting dan masa depan Pertamina dibubarkan, Dirut Pertagas diberhentikan, dan tak kunjung terbitnya pelimpahan kewenangan Saham Dwi Warna Pemerintah di PGN kepada Pertamina Surat Kuasa Khusus (SKU).
Dengan langkah-langkah di atas, jelas peran proses konsolidasi justru leluasa didominasi oleh KBUMN. Sikap pemerintah ini jelas mengundang tanda tanya, apakah pembentukan Holding BUMN Migas memang murni untuk kepentingan ideal bagi negara dan rakyat, atau justru ditumpangi oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki hidden agenda. Beberapa agenda yang dikhawatirkan adalah adanya pihak-pihak tertentu, termasuk asing, yang berkepentingan untuk melindungi investasi pada saham PGN, mendapat manfaat dari bisnis ekspor dan impor gas di masa depan, dan lain-lain.
Kelima, dengan mengakuisisi saham Pertagas, maka PGN perlu menyiapkan dana yang jumlahnya cukup besar. Jika PGN tidak mampu, maka alternatifnya adalah dengan skema rights issue saham baru atau dengan peminjaman dana kepada PGN dari Pertamina melalui penerbitan obligasi. Jika skema rights issue yang ditempuh maka saham Pertamina berpotensi terdilusi, sedangkan dengan skema penerbitan obligasi, maka beban keuangan Pertamina akan bertambah. Hal-hal ini menunjukkan bahwa skema akuisisi bukan memberi manfaat, tetapi justru menambah beban bagi Pertamina.
Keenam, dengan skema akuisisi maka dapat saja pemegang saham publik di PGN lebih diuntungkan, dan Pertamina sebagai pemegang 100 % saham Pertagas dirugikan, terutama jika nilai 100° 0 saham Pertagas “dinilai” lebih rendah dari seharusnya. “Nilai” saham tersebut dapat saja direkayasa menjadi lebih rendah dari seharusnya, jika terdapat oknum-oknum pengambil keputusan mengidap moral hazard dan pihak-pihak asing pun ikut “bermain” untuk terus dapat mengeruk keuntungan dan berbagai potensi bisnis nasional.
Memperhatikan berbagai hal di atas, IRESS meragukan jika skema akuisisi merupakan pilihan terbaik yang harus ditempuh dalam rangka mengonsolidasikan bisnis Pertagas dengan PGN. Kita ragu jika KBUMN telah melakukan analisis untung-rugi (cost/benefit analisys) secara komprehensif, sehingga memilih skema akuisisi. Belum lagi j ika aspek-aspek governance, integrasi kelembagaan, organisasi dan SDM, serta fungsi pengawasan oleh DPR dan publik dipertimbangkan.ñ
Di sisi lain, kredibilitas pemerintah/KBUMN pun patut dipertanyakan, terutama jika melihat kebijakan yang telah diambil sebelumnya dalam penguasaan SDA yang seharusnya dikelola BUMN. KBUMN membiarkan “konco-konco” menguasai pengelolaan SDA strategis yang seharusnya dikelola oleh BUMN, seperti kasus pembelian saham Newmont oleh Medco dan Kiki Barki (Amman Mineral), atau saham Chevron pada PLTP Gunung Salak dan Darajat oleh Prayogo Pangestu (Star Energy). Oleh sebab itu, kita meminta agar rencana akuisisi tersebut ditunda atau malah dibatalkan.
Oleh: Marwan Batubara (Direktur IRESS)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta