Jakarta, Aktual.com – Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak Maret hingga saat ini belum ada tanda-tanda berakhir. Dampaknya meluas hingga ke berbagai sendi kehidupan, mulai dari kesehatan, sosial hingga ekonomi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat itu menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dimana masyarakat dilarang beraktivitas di luar rumah, begitu pula pembatasan pekerja di perkantoran dan usaha yang banyak tutup akibat dampak COVID-19.
Akibatnya, banyak yang kehilangan mata pencarian sehingga mengganggu ekonomi keluarga.
Karena itu, sejak April, pemerintah melalui Kementerian Sosial menyalurkan bantuan sosial sebagai jaring pengaman sosial kepada warga terdampak COVID-19 terutama bagi pekerja informal di DKI Jakarta.
Penyaluran bansos sembako merupakan bagian dari stimulus ekonomi dari pemerintah dengan anggaran awal yang dialokasikan sebesar Rp110 triliun.
Bantuan sosial yang diberikan dalam beberapa bentuk yaitu bansos sembako senilai Rp600 ribu yang dibagi dalam dua paket setiap bulan pada April hingga Juni 2020 bagi warga terdampak COVID-19 di wilayah DKI Jakarta dan sejumlah wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota.
Bansos sembako yang diberikan bagi sekitar 1,3 juta keluarga di DKI Jakarta dan 600 ribu keluarga di Botabek berisi antara lain beras, minyak goreng, mie instan, ikan kaleng dan sabun mandi dalam kantong berwarna merah putih dengan tulisan Kemensos Hadir.
Selain itu Kemensos juga menyalurkan Bantuan Sosial Tunai (BST) senilai Rp600 ribu per bulan bagi sembilan juta warga terdampak COVID-19 di luar DKI Jakarta yang penyalurannya dilakukan secara langsung oleh PT Pos maupun melalui Bank Himbara.
Selama pendistribusian bansos tersebut, jajaran Kemensos termasuk Juliari P Batubara yang ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Sosial pada Kabinet Indonesia Maju, rajin turun ke lapangan untuk meninjau langsung penyaluran bansos.
Tidak jarang Mensos termasuk juga Penasehat Darma Wanita Kemensos yang juga istri Juliari, Grace Batubara blusukan sampai ke gang-gang sempit bahkan hingga daerah-daerah kumuh di Ibukota.
Di awal penyaluran bansos, cukup banyak permasalahan terutama terkait data karena ada warga yang seharusnya berhak mendapatkan bantuan, namun ternyata tidak dapat.
Data penerima bansos sembako tersebut merupakan data yang diajukan oleh Pemprov DKI Jakarta di luar Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dimiliki Kemensos.
Pendampingan dan pengawasan
Sejak awal program khusus COVID-19 tersebut digulirkan, Mensos Juliari sudah menggandeng aparat hukum untuk melakukan pengawasan dan pendampingan termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan pada Mei lalu, Juliari juga mengajak pimpinan KPK untuk meninjau langsung penyaluran bansos untuk memastikan bantuan tepat sasaran.
Didampingi Ketua KPK Firli Bahuri, Juliari mengecek langsung proses distribusi bansos sembako di dua titik di wilayah Jakarta Selatan, yaitu di RT 01 RW 02 Cipete Utara, Kecamatan Kebayoran Baru dan di RT 14 RW 001, Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak.
KPK hadir untuk mengawasi proses penyaluran bantuan sosial sembako agar lebih tepat sasaran, sekaligus mengacu pada pedoman dan memastikan tidak ada tindak penyelewengan di lapangan.
“Kami sengaja datang pada penyaluran bansos untuk memberikan kepastian bahwa setiap warga negara memiliki hak menerima bantuan dengan berpegang pada prinsip bantuan harus tepat sasaran,” kata Ketua KPK.
Berdasarkan pada surat pedoman pelaksanaan program bantuan sosial data penerimaan bantuan sosial adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
“Jika ditemukan warga yang layak menerima, padahal tidak masuk DTKS wajib dimasukkan. Sebaliknya jika ada nama di DTKS, tapi sudah tidak layak menerima harus dikeluarkan. Bansos harus tepat sasaran,” kata Firli.
Bahkan pada September lalu, Juliari mendatangi gedung Merah Putih yang merupakan kantor KPK untuk beraudiensi dan meneguhkan kembali komitmennya untuk mematuhi prinsip akuntabilitas dan transparansi anggaran.
“Kemensos memastikan membuka diri terhadap pengawasan dalam penggunaan anggaran. Kami memastikan pengelolaan anggaran memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kepada KPK, kami memohon pengawalan dan pengawasan dalam pengelolaan anggaran,” kata Mensos Juliari usai diterima pimpinan KPK, Jakarta, Rabu (9/9).
Mensos menyatakan, pengawasan dan bimbingan dari KPK diperlukan, sejalan dengan besarnya anggaran yang dipercayakan kepada Kemensos untuk tugas mengatasi dampak pandemi di jaring pengaman sosial (JPS).
Anggaran Kemensos pada TA 2020 ditetapkan sebesar Rp62,77 triliun. Namun anggaran tersebut terus bertambah seiring dengan bertambahnya tugas dalam penyaluran bansos.
Kemensos mengelola anggaran yang masuk kategori Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp127,146 triliun. Saat ini total anggaran Kemensos mencapai Rp134 triliun.
Pada kesempatan itu, Juliari mempersilakan KPK mengawasi tata kelola dan penyaluran bantuan sosial di masa pandemi.
“Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, dalam rangka penyerapan anggaran sangat ingin diberikan pendampingan dari semua teman-teman yang mengawal program pemerintah tentu di antaranya KPK. Kami tentu berharap KPK memberikan bimbingan dan juga teguran jika ada hal yang perlu kami perbaiki,” katanya.
Korupsi bansos
Menjelang akhir tahun 2020, berita mengejutkan datang dari KPK. Diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu (5/12/2020) dini hari terhadap sejumlah orang termasuk pejabat di Kementerian Sosial.
Penangkapan tersebut diduga terkait dengan korupsi dana bansos COVID-19. Selama seharian KPK memeriksa orang-orang yang terjaring OTT tersebut.
Mensos Juliari yang baru kembali dari perjalanan dinas ke Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur untuk menyalurkan bansos menanggapi singkat terkait OTT tersebut.
Dalam pesan singkatnya ia menjawab masih memonitoring proses pemeriksaan dan menghormati serta mendukung upaya yang dilakukan KPK.
Tak disangka, hasil pemeriksaan terhadap oknum pejabat Kemensos berujung pada penetapan tersangka kepada Mensos Juliari dan seorang oknum Kemensos lainnya.
Juliari P Batubara ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW).
Sedangkan pemberi suap, yakni dua orang dari pihak swasta Ardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS).
KPK menduga Mensos menerima suap senilai Rp17 miliar dari fee pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di Jabodetabek.
“Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee senilai Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS (Matheus Joko Santoso) kepada JPB (Juliari Peter Batubara) melalui AW (Adi Wahyono) dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar,” kata Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Ahad dini hari.
Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.
“Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB,” ujar Firli.
Sehingga total suap yang diduga diterima Juliari adalah senilai Rp17 miliar.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Juliari kembali mendatangi gedung Merah Putih pada Ahad malam dinihari, tapi kali ini bukan untuk beraudiensi.
Sejak ramai pemberitaan tentang OTT terkait bansos COVID-19 hingga Mensos menjadi tersangka, warganet ribut mempertanyakan keseriusan pemerintah menerapkan hukuman mati bagi koruptor dana bansos COVID-19.
Sejak jauh hari Presiden Joko Widodo menegaskan agar tidak ada yang bermain-main dengan bansos COVID-19 dan akan menindak tegas pelakunya.
Bahkan Ketua KPK Firli Bahuri mengultimatum akan menjerat pelaku korupsi dana bantuan COVID-19 dengan hukuman mati.
Sangat disayangkan bansos yang sejatinya diperuntukkan bagi warga terdampak COVID-19, masih menjadi lahan mencari keuntungan segelintir orang.
Saat ini masyarakat menanti keseriusan pemerintah dan penegak hukum untuk menjalankan aturan, juga penegakan hukum yang lebih keras bagi pengambil keuntungan di atas penderitaan orang banyak yang terdampak pandemi.*(Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin