Jakarta, Aktual.com – Ketika Singapura merdeka, Presiden pertamanya adalah Dr Mohd Yusuf dan Perdana Menterinya adalah Lee Kuan Yew. Seperti negara-negara yang sedang berkembang lainnya, Singapura miskin dan kumuh.
Pada waktu itu, PM Lee memperkenalkan konsep meritocracy. Jika Singapura ingin maju, maka hendaknya warga Singapura lebih mengutamakan pemimpin yang cakap tanpa harus melihat latar belakang ras dan agamanya.
Konsep tersebut diterima masyarakat Singapura. Karena ras Tionghoa dominan dalam ekonomi dan pendidikan, maka warga negara Singapura keturunan Tionghoa lebih dominan di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Sebaliknya, ras Melayu semakin pudar perannya.
Bahkan pada sekitar tahun 1975, pemerintah Singapura menghapuskan pelajaran bahasa dan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah Singapura. Bahasa yang diwajibkan pemerintah di sekolah adalah bahasa Inggris atau bahasa Mandarin. Dengan demikian, ras Melayu semakin terpojok.
Perkembangan yang sedang dan akan terjadi di Jakarta saat ini hingga banyak orang yang mempertanyakan apakah Jakarta akan berkembang serupa dengan Singapura?
Sepertinya iya, karena beberapa bukti konsep meritocracy telah dijalankan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mulai dari kasus lurah Susan, lelang jabatan, pernyataan Ahok bahwa agama tak perlu dicantumkan di KTP hingga opini warga kurang mampu harus keluar dari Jakarta.
Kenaikan PBB 200 persen dirasakan beratnya oleh penduduk miskin. Mereka pun bersiap-siap keluar Jakarta pindah ke daerah pinggiran serta menjual tanah dan rumahnya. ‘Kalau kamu buat kehidupan gak cukup ya kamu jual dong”, begitulah Ahok menasihati warganya.
Pedagang Kaki Lima/PKL kerap memiliki atribut jelek dan semrawut. Mereka dianggap memacetkan jalan dan mengotori Jakarta. Janji manis kampanye dan kontrak politik Pro-Rakyat seakan tak terbukti.
Upaya relokasi ke Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) tidak memikirkan kesinambungan pendapatan dan hidup warga. Pada gilirannya sebagian warga juga harus keluar dari Jakarta karena tidak mampu membayar uang sewa bulanan.
Nelayan-nelayan pun tidak kalah mengharukan. Pasar ikan, kawasan Luar batang yang penuh historis tergerus kuatnya megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta.
Sekarang pun jika kita menelusuri kepemilikan rumah di kawasan Menteng, sekitar masjid Agung Al-Azhar, sebagian besar telah dimiliki oleh saudara- saudara kita etnis Tionghoa. Pluit, Pantai Indah Kapuk, Glodok, dan Kelapa Gading,semuanya mayoritas adalah saudara kita etnis Tionghoa.
Apakah warga pribumi di Jakarta akan menjadi minoritas dan menjadi penonton pembangunan Jakarta yang semakin gemerlap? Termasuk megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta?
Apakah Rekamasi Teluk bermanfaat bagi warga Jakarta? Yang nyata-nyata sudah ‘dijual’ oleh Agung Podomoro di China dengan kedok investasi? Atau hanya bermanfaat untuk segelintir orang tertentu?
Oleh: Sekretaris Jenderal ProDEM, Satyo Purwanto
*Sumitro
Artikel ini ditulis oleh: