Jakarta, Aktual.co — Pengamat energi Indonesia for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng mengatakan bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo tentang kenaikan harga BBM bersubsidi hanya berlaku untuk tahun anggaran 2014. Dimana untuk harga BBM tahun 2015 Pemerintah harus meminta persetujuan DPR.

“Mengapa? Kenaikan harga BBM pasti akan memiliki konsekuensi pada perubahan APBN, Maka seluruh perubahan tersebut harus atas  persetujuan DPR. Pengesahannya juga harus melalui UU APBN yang baru,” kata Salamudin di Jakarta, Selasa (18/11).

Menurutnya, mengingat angka subsidi termasuk subsidi BBM telah ditetapkan melalui UU No 27 tahun 2014 tentang APBN tahun 2015 yakni senilai Rp414,68 triliun (Pasal 13 ayat 1). Kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp2000 per liter, menyebabkan bergesernya angka subsidi dalam jumlah besar.

“Selain itu, dalam Pasal 13 ayat 3 anggaran untuk subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan perubahan parameter dan/atau realisasi harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah,” sebutnya.

Padahal, lanjutnya, dalam APBN 2015 ICP ditetapkan sebesar Rp105 per barel dan nilai tukar ditetapkan Rp11.900 per USD.

Sementara saat ini harga minyak mentah dunia jatuh dibawah 80US$ per barel. Semua bergeser jauh dan harus ditetapkan melalui UU APBN baru. Dalam UU APBN 2015 ayat (4) ditegaskan bahwa dalam hal perubahan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa perubahan volume Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, Pemerintah membahas perubahan tersebut dengan komisi terkait di DPR RI untuk mendapatkan persetujuan.

“Sehingga untuk mempertahankan kebijakannya harga BBM premium Rp. 8.500/liter dan harga Solar Rp. 7.500/liter pada tahun 2015 mendatang, pemerintah Jokowi harus minta persetujuan DPR,” ucapnya.

Maka, harga BBM yang diputuskan presiden Jokowi pada 17 November 2014 kemarin tidak berlaku untuk tahun 2015. Angka subsidi baru, termasuk subsidi BBM serta realokasinya harus ditetapkan melalui UU APBN dan persetujuan DPR.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka