Jakarta, Aktual.com – Konflik tak lekas usai antara Palestina dan Israel memasuki babak baru akhir-akhir ini dengan kemunculan rencana aneksasi wilayah Tepi Barat yang digadang-gadang oleh Israel akan mulai dibahas lebih lanjut pada 1 Juli 2020.

Keinginan Israel untuk melakukan aneksasi, atau pencaplokan tanah milik orang lain secara paksa–demikian didefinisikan berbagai sumber, ramai-ramai mendapat penolakan dan kecaman dari berbagai pihak.

Lembaga internasional, regional, juga sebagian besar negara-negara sebagai entitas sendiri bersepakat mengenai ketidaksetujuan mereka akan rencana itu. PBB, misalnya, mendesak Israel untuk urung menjalankan pencaplokan tersebut.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menegaskan bahwa aneksasi adalah tindakan yang ilegal dan melanggar sejumlah kesepakatan internasional yang telah dicapai sejauh ini.

“Jika diimplementasikan, pencaplokan akan menjadi pelanggaran paling serius terhadap hukum internasional, sangat merugikan prospek Solusi Dua Negara, dan melemahkan kemungkinan pembaruan perundingan,” ujar Guterres dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pada akhir Juni 2020.

Namun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sempat tak gentar. Ia berlindung pada Kesepakatan Abad Ini (Deal of the Century) yang digagas Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan kekuatan adikuasa yang dimiliki.

Netanyahu menyebut bahwa pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat merupakan tindak lanjut dari kesepakatan tersebut–yang pada faktanya ditolak mentah-mentah oleh Palestina karena dianggap hanya menguntungkan pihak Israel.

Bagaimanapun, target 1 Juli yang didambakan Netanyahu tak menjadi kenyataan. Hingga kini, rencana aneksasi secara formal masih ditangguhkan, salah satunya, karena AS belum memberikan lampu hijau serta dinilai tengah sangat berhati-hati untuk menyatakan keputusan.

Sepanjang sejarah konflik Palestina dan Israel, sejumlah perjanjian muncul dan beberapa disepakati. Sasarannya kurang lebih: mengupayakan jalan tengah dengan membagi wilayah itu untuk kedua belah pihak.

Resolusi 181

Palestina tentu menjadi pihak yang mengutuk serta menolak paling keras rencana aneksasi oleh Israel. Hajat hidup rakyat Palestina menjadi pertaruhan utama dalam rencana itu.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair al-Shun giat menyuarakan penolakan terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap negaranya, dan terkait rencana aneksasi itu dia menyatakan Palestina mendesak Israel untuk tunduk pada Resolusi 181.

“Sampai saat ini Israel tidak patuh terhadap Resolusi 181. Ketidakpedulian Israel merupakan sikap meremehkan komunitas internasional, negara-negara yang mendukung resolusi tersebut,” kata Zuhair dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, 25 Juni 2020.

Resolusi 181, disebut juga Rencana Pembagian Palestina, adalah resolusi yang dikeluarkan oleh PBB di akhir tahun 1947 untuk memecah Tanah Palestina bagi Bangsa Yahudi dan Arab.

Secara kasar, pembagian wilayah itu lebih banyak untuk Bangsa Yahudi, yakni sekira 55%. Sedangkan sisanya hak Bangsa Arab.

Dengan resolusi itu, mayoritas negara anggota PBB setuju atas berakhirnya Mandat Britania untuk Palestina–otoritas Inggris atas Tanah Palestina pasca Perang Dunia I–per 1 Agustus 1948.

Yerusalem menjadi kota yang diperebutkan. Baik Palestina maupun Israel mengklaim wilayah itu sebagai milik mereka, sebagaimana tercatat dalam sejarah bangsa masing-masing.

Pada Bagian III Resolusi 181 dituliskan secara khusus mengenai Kota Yerusalem sebagai Pemerintahan Khusus.

“Kota Yerusalem harus didirikan sebagai corpus separatum di bawah rezim internasional khusus dan harus dikelola oleh PBB. Dewan Perwalian PBB harus ditunjuk untuk melepaskan tanggung jawab Otoritas Pemerintahan mewakili PBB,” demikian bunyi pasal A tersebut.

Sebelum tenggat pemberlakuan Resolusi 181, pada 14 Mei 1948, Bangsa Yahudi memproklamasikan kemerdekaan sebagai Negara Israel. Negara-negara jiran Bangsa Arab tak sepakat sehingga sehari setelahnya menyerang Israel.

Perang Arab-Israel 1948 pecah. Israel memenangkan pertempuran dan justru dapat mencaplok lebih banyak bagian Tanah Palestina.

Hampir 20 tahun setelah perang tersebut–dengan sejumlah konflik kecil yang terus terjadi antara Israel dengan negara-negara Arab di sekitarnya–pada 5 Juni 1967 kembali terjadi perang, kali ini antara Israel dengan tiga negara, yakni Mesir, Suriah, dan Yordania.

Masalah wilayah, lagi-lagi, menjadi pemicu pecahnya pertempuran. Hingga 10 Juni di tahun yang sama, Perang Enam Hari usai dengan kemenangan Israel yang berhasil menduduki sejumlah wilayah penting, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan.

Solusi Dua Negara

Rencana aneksasi Israel kini, tak hanya akan menjadi pelanggaran bagi Resolusi 181, namun juga bagi upaya perdamaian Palestina-Israel secara keseluruhan yang dimandatkan dalam Solusi Dua Negara.

Wakil Tetap RI untuk PBB Dian Triansyah Djani secara keras mengkritisi rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel dengan mengaitkannya pada perihal kemerdekaan, kedaulatan Bangsa Palestina.

Perlu digarisbawahi bahwa Palestina mendeklarasikan kemerdekaan pada 15 November 1988. Namun statusnya sebagai negara berdaulat masih menjadi perdebatan di tataran internasional, karena sejumlah negara belum mengakui hal itu.

Hingga 30 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pada 2018, ada 137 negara dari total 193 anggota PBB yang telah mengakui kedaulatan Negara Palestina. Sisanya, sebanyak 56 negara, masih menolak.

Alih-alih mengakui Palestina, AS sebagai negara adikuasa dunia dengan kecondongan terhadap Bangsa Yahudi di Israel justru membuat keputusan besar yang amat kontroversial.

Penghujung 2017, Presiden Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Mei 2018, Pemerintah AS memindahkan kedutaan besar untuk Israel, dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Lalu menurut Dian, jika rencana aneksasi benar terlaksana, Israel mungkin saja tidak hanya akan mengambil wilayah tertentu tetapi terus menggerogoti Tanah Palestina sampai habis di masa depan, sehingga jelas bahwa pencaplokan ilegal akan menghapus ide Solusi Dua Negara.

Ia mengajukan sebuah pertanyaan paling mendasar: bagaimana mungkin kita bisa menyaksikan dua negara hidup berdampingan bersama, jika salah satu negara tak punya tanah untuk tinggal?.

(Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin