Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kedua kiri), Wapres Jusuf Kalla (ketiga kiri), Ibu Mufidah Jusuf Kalla (keempat kiri) berjabat tangan dengan Menteri BUMN Rini Soemarno (kanan) saat acara silaturahmi Idul Fitri 1437 H dengan Pemimpin Lembaga Negara, Menteri Kabinet Kerja di Istana Negara, Jakarta, Senin (11/7). Dalam silaturahim tersebut hadir pula Pejabat Eselon I Kementerian Sekretariat Negara serta karyawan Kantor Staf Presiden. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/1Spt/6

Jakarta, Aktual.com – Mantan tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi menilai Menteri BUMN, Rini Soemarno layak ditendang dari Kabinet Kerja Jokowi-JK dalam agenda reshuffle mendatang, hal ini karena Menteri Rini tidak kompeten dan banyak melakukan blunder terutama dalam hal holding BUMN.

“Menurut saya, banyak blunder yang dilakukan Rini, tidak hanya Holding Energi, tapi juga perpanjangan kotrak JICT Pelindo II yang melanggar UU, dan blunder KA cepat, utang BUMN ke China dan lain-lain. Sangat layak Rini harus diganti agar tidak lagi menimbulkan blunder dan kerusakan lebih parah terhadap BUMN,” katanya kepada Aktual.com, Kamis (14/7).

Lebih lanjut jelasnya, selera Pertamina ingin mencaplok PGN sebelumnya pernah terungkap saat Dahlan Iskan menjabat sebagai Menteri BUMN, tapi saat itu tidak mendaparka restu dari Dahlan.

Dia membandingkan dengan Rini sebagai pembuktian seorang menteri yang tidak memiliki konsep pembangunan yang jelas lantaran melakukan holding dengan mekanisme yang rancu.

“Rencana Rini membentuk Holding Energi hanya simplifikasi Pertamina mencaplok PGN akan menjadi blunder, tidak hanya bagi PGN, tapi juga bagi Pertamina,” pungkasnyan.

Terkait Holding Energi ini jua membuat Pengamat Energi sekaligus Guru Besar Ekonomika Bisnis UGM Yogyakarta, Tri Widodo angkat bicara. Menurutnya tindakan pencaplokan terhadap PGN merupakan langkah ceroboh dan kesewenang-wenagan.

“Yang paling krusial adalah apakah pengalihan saham pemerintah di PGN yang 54 % itu bakal otomatis menjadikannya sebagai anak perusahaan Pertamina? Karena berarti akan meninggalkan minority interest pemilik saham publik sebesar 44 %, yakni 9 % lokal serta 35 % asing. Apakah mereka (pemilik saham publik) sepakat?” Ujarnya.

Dalam RPP yang menurut Menteri Rini tinggal menunggu penandatanganan Presiden itu, ungkap Tri, hanya menyatakan perihal konsekuensi inbreng atau pemindahan saham berupa PGN bakal jadi anak perusahaan Pertamina saja, tidak sampai pada ketentuan jaminan minority interest saham publik sisanya.

Mekanisme tersebut dipandangnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, sebab berpotensi memicu konflik dari pemilik saham publik yang belum tentu setuju, akan ada pelanggaran hak disitu. Saat ini, sambung Tri, saham PGN sedang tergoreng dengan terus menurun sebagai akibat dari ketidakpastian bisnis terlebih di pasar terbuka yang dilakukan oleh Menteri Rini.

“Ini yang nggak becus menteri BUMNnya, wong kedua perusahaan berada di satu Kementerian yang sama. Karena ini idenya dia (Rini Soemarno) ya mustinya dia tanggung jawab,” tegasnya.

Suntikan PMN ke Perusahaan Gas Negara agar dapat membuy-back 44 % saham publik, juga dinilai Tri tetap tidak mampu dilakukan pemerintah melihat kondisi pendanaan sekarang. Penarikan kembali saham setidaknya membutuhkan dana sangat besar berkisar Rp 28 triliun, dengan asumsi harga saham 2300 Rupiah per lembar.

“Intinya, dengan adanya RPP seperti itu semua jadi kacau, berimplikasi pada ketidakpastian bisnis di Indonesia,” katanya.

Wacana holding dalam RPP pun ini harus segera dihentikan jika tidak ingin membuat jelek image dunia investasi Indonesia khususnya perusahaan terbuka yang berkaitan dengan BUMN. Apalagi, lanjut Tri, jika kesalahan seperti ini tetap dibiarkan maka saham PGN semakin lama bakal semakin parah di pasar saham.

Secara mendasar, Tri mengakui, negara jelas butuh penguatan BUMN sektor migas, akan tetapi tidak dengan merusak pasar saham melalui campur tangan pemerintah.

Indonesia mengalami permasalahan energi sebagai negara kepulauan dimana infrastruktur migas hanya ada di kawasan barat. Untuk itu, Tri pun menilai yang masih mungkin disatukan adalah antara Pertagas dengan PGN, bukan Pertamina dengan PGN.

“Biarkan saja Pertamina bergerak di hulu minyak, sedangkan Pertagas dilebur ke PGN agar menjadi spesialisasi industri gas. Itu justru nggak masalah,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka