Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Firmanzah menyebut kebijakan di daerah terkait perizinan masih memberatkan para investor. Padahal pemerintah pusat sudah melakukan deregulasi kebijakan dengan dikeluarkannya 13 paket kebijakan ekonomi.
Menurutnya, jika pemerintah daerah peka terhadap masuknya investasi bisa terbuka untuk menggenjot penciptaan lapangan kerja baru. Terutama di sektor manufaktur.
“Pemda belum memiliki inisiatif untuk membuka peluang investasi di sektor manufaktur. Ada salah satu kepala daerah yang secara mengejutkan tidak peka terhadap hal tersebut. Perizinannya jadi lambat,” tandas Firmanzah di Jakarta, Selasa (1/11).
Kemudian juga, kata dia, terdapat masalah miss match antara kebutuhan industri dengan apa yang disuplai oleh Kementerian Pendidikan. Sehingga terkesan tak sejalan dengankm Kementerian Perindustrian serta Kementerian Riset san Dikti.
“Kalau di negara lain seperti China, ada peluang untuk melakukan riset industri. Dan hasilnya bisa digunakan industri. Ini bisa kita replikasi,” tegasnya.
Firmanzah menyayangkan sikap Pemda yang terkesan kurang adaptif terhadap masuknya investasi. Padahal beberapa sektor mengalami perlambatan yang sangat berat untuk menyerap tenaga kerja baru.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), di kuartal II-2016 ini, sektor jasa dan perdagangan mengalami penyerapan tenaga kerja meningkat. Namun sektor pertanian dan manufaktur masih mengalami penurunan.
“Ini perlu diantisipsi bersama, apakah kondisi ini by designed di mana kita mengarah ke negara berbasis services, atau ini efek industri menurun, sehingga laju angkatan kerja deras tapi tak tertampung,” jelas Rektor Universitas Paramadina ini.
Namun demikan, diribya sepakat untuk menciptakan lapangan kerja yang bermabfaat. Apalagi saatbini, sektor informal makin terus membesar. Berdasar data BPS, pekerja informal membesar, sehibgga pengangguran berkurang tetapi masuk dalam kelompok tidak terlindungi.
“Jangan-jangan dengan kondisi itu sektor riil stagnan. Sehingga meskipun pertumbuhan industri di atas pertumbuhan ekonomi, tapi laju angkatan kerja lebih tinggi,” ucapnya.
Firmanzah juga menyoroti isu peningkatan uapah minimum propinsi (UMP) yang terjadi setiap tahun. Menurutnya, pernah ada riset di Amerika Latin menunjukkan hasil yang mengejutkan. Karena setiap ada kenaikan UMP 10% ternyata bisa menurunkan 2,8% market share dari ekspor ke global.
“Kalau di China, sejak 1978-2013, rata- pertumbuhan UMPnya meningkat 10 kali lipat tetapi pangsa pasar ekspornya membesar. Ternyata kenaikan UMP di China disertai dengan sejumlah devaluasi yuan, insentif harga gas, dan lain-lain. Inibyang tak dilakukan pemerintah Indonesia,” pungkas dia.[Busthomi]
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid