Jakarta, Aktual.com — Empat bank BUMN berpotensi akan menjadi bank sistemik berdasar daftar yang nantinya akan dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasalnya, dengan konglomerasi tersebut, bank BUMN tetap akan berdampak besar jika terjadi masalah atau krisis. Sementara sebagai bank BUMN, tetap saja jika masalah itu muncul maka pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas yang akan menanganinya.
“Justru dengan adanya UU PPKSK (Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) ini, negara tetap terpaksa terlibat, karena masih ada bank BUMN,” cetus Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono di Jakarta, Rabu (18/5).
Menurut Sigit, dengan lahirnya UU PPKSK ini maka negara sudah tidak lagi ikut menangani bank gagal sistemik jika krisis muncul. Akan tetapi jika yang menjadi bank gagal sistemik itu bank BUMN, maka negara akan terpaksa terlibat.
“Makanya, para petinggi bank BUMN jangan tenang-tenang saja dengan menerapkan business as ussual. Tetap harus hati-hati,” tegas Sigit.
Dia kembali menegaskan, jangan sampai muncul anggapan karena itu bank milik negara, maka kalau ada apa-apa toh negara yang menanggung. “Tidak bisa seperti itu. Tetap saja bank BUMN harus dikelola dengan baik jangan sampai menjadi bank gagal sistemik,” cetusnya.
Berkaca pada kejadian krisis 1998, ketika banyak bank gagal sistemik muncul, biaya penyelamatannya itu sangat mahal.
“Biaya krisis 1998 itu mencapai Rp600 triliun. Dan pada saat itu negara lah yang dilibatkan. Gara-gara ulah bank seperti Samadikun Hartono. Tapi memang saat itu, tidak semua bankir seperti Samadikun,” jelas dia.
Lebih jauh Sigit menegaskan, berdasar UU baru ini, nantinya peran penyelematan bank itu akan melibatkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang saat ini memiliki aset sebesar Rp68 triliun.
“Tetap saja angka Rp68 triliun itu tidak cukup jika terjadi krisis dan ada bank gagal sistemik. Karena bisa jadi bank itu memiliki modal dan aset yang besar, bahkan sangat terkait dengan lembaga keuangan lain. Sehingga sangat sistemik,” ingat Sigit.
Di tempat yang sama, Kepala Manajemen Strategis dan Pengembangan Kebijakan LPS, Jarot Marhaendro menyebutkan, saat ini LPS memang memiliki aset dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp68 triliun. Namun, jika nantinya dana itu kurang maka pihaknya akan meminjam ke pihak lain yang dianggap layak.
“Karena kami juga punya kewenangan untuk menerbitlan surat utang atau oblugasi jika kekurangan dana untuk menangani bank gagal sistemik itu,” jelas Jarot.
Kata dia, berdasar UU tetsebut, ada beberapa kewenangan yang dimiliki LPS dalam melakukan penanangan krisis siatem keuangan. Seperti kewenangan khusus dan ekstra yudisial dalam pelaksanaan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP).
“Kewenangan ini sebagaimana saat krisis 1998 yang dahulu dimiliki oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional),” jelas dia.
Selain itu, ada juga kewenangan menghapus tagih dan menghapusbukukan aset eks PRP itu. “Kewenangan itu ada di Pasal 46 UU PPKSK di ayat 5,” pungkas Jarot.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka