Semarang, Aktual.com – Metode konversi suara “sainte lague” yang digunakan pada Pemilihan Umum 2019 menjadikan potensi konfliknya rendah. Tidak seperti, kata Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono, Pemilu 2004 yang menerapkan “stembus-accord” (penggabungan sisa suara), justru tingkat konfliknya tinggi.
Suara sisa di daerah pemilihan (dapil), menurut Teguh, potensi konfliknya lebih tinggi meskipun dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ada ketentuan yang menyebutkan partai politik peserta pemilu tidak dibenarkan mengadakan perjanjian penggabungan sisa suara (vide Pasal 107).
Ia mengatakan bahwa sistem pemilihan umum mendatang dengan Pemilu 2014 berbeda metodenya. Akan tetapi, sistemnya sama-sama habis dibagi di dapil, atau suara habis di dapil.
“Begitu di dapil penghitungan selesai, kursinya selesai,” tegas Alumnus Flinders University Australia itu, Minggu (4/3).
“Mana yang lebih bagus, tergantung dengan sistem yang dipilih. Sebetulnya bukan soal bagus atau tidak, melainkan setiap sistem punya konsekuensi sendiri-sendiri,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara