Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo menyatakan bahwa tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan adanya motif pengambilan keuntungan finansial yang tidak sah, terutama ‘memboncengi’ alur penempatan pekerja migran Indonesia (PMI).
“Ini menjadi salah satu faktor utama penyubur praktek TPPO [dengan] memanfaatkan kesenjangan akses informasi yang dimiliki oleh korban dan lemahnya instrumen penegakan hukum,” katanya dalam sebuah diskusi virtual yang bertajuk Potensi Keterlibatan Lembaga Keuangan dalam Aliran Dana Terkait Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pekerja Migran, Jumat (23/10) sore.
Berdasarkan studi Migrant Care pada 2013 lalu, yang menelusuri bisnis penempatan buruh migran menemukan bahwa setiap urusan administrasi atau birokrasi berhubungan dengan calo, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), aparat birokrasi, agensi dan majikan selalu ditandai dengan transaksi keuangan. Transaksi keuangan itu, menurutnya, dilakukan secara tunai dan non tunai.
Wahyu juga mengungkapkan sejumlah korporasi menikmati keuntungan dari bisnis penempatan buruh migran di sejumlah negara. Korporasi yang dimaksud adalah PPTKIS, travel agency, klinik, asuransi, tempat penukaran uang, serta lembaga keuangan lain baik bank maupun nonbank.
“Investigasi Migrant Care menemukan ada beberapa holding company besar yang usahanya mencakup itu semua. Kita juga ingin menginvestigasi keterlibatan lembaga-lembaga yang mengatasnamakan koperasi dan juga BPR [red: Bank Perkreditan Rakyat], itu juga banyak terutama di daerah” ungkapnya.
Sementara itu, Jurnalis Aktual.com, Megel Jekson menyebut praktik pengambilan keuntungan dari bisnis buruh migran ini juga terjadi lewat skema Immigration Security Clearence (ISC). Menurutnya, pungutan yang dibebankan kepada calon PMI lewat skema keamanan ini sebesar Rp418 ribu/orang.
“Besaran nominal tersebut diduga tanpa dasar dan tidak dikelola secara transparan. Diduga ada pihak yang mendapatkan keuntungan dan rente dari pungutan ISC ini,” ujarnya.
Megel mengaku Aktual.com telah melakukan liputan investigasi terkait ISC ini selama satu bulan pada September lalu. Hasil investigasi tersebut menemukan ada dugaan keterlibatan petinggi Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI).
“Kami menemukan asosiasi menjadi kelompok yang paling total mendorong pemberlakuan ISC ini. Kami bahkan menemukan nama petinggi APJATI yang kemudian mendorong pemberlakuan ISC ini,” kata Megel.
“Menurut sumber yang kami temui, ternyata PT Bintang Malindo Mediasi (BMM) selaku penyelenggara ISC di Indonesia memiliki hubungan dengan salah satu elit di asosiasi. Namun kami berusaha konfirmasi pihak APJATI, tapi tidak ada kesediaan,” lanjutnya.
Artikel ini ditulis oleh:
A. Hilmi