Jakarta, Aktual.com – Asumsi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 pada Kamis (14/7) kemarin dirasa kurang realistis. Apalagi rentang asumsinya juga terlalu jauh, sehingga terkesan pemerintah kurang serius dalam mencapai target pertumbuhan perekonomian nasional itu.
“Bagi saya APBN itu diajukan ke kami (Komisi XI DPR) harus realistis. Boleh pesimis atau optimis tapi harus sesuai dengan kondisinya. Karena pada akhirnya pemerintah juga harus mengelola risiko fiskalnya,” tutur anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Misbakhun, di Jakarta, Jumat (15/7).
Menurut dia, kondisi makro yang kurang realistis itu adalah, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3-5,9 persen, sedang untuk nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di angka Rp13.650-Rp13.900.
Angka pertumbuhan ekonomi terlalu jauh rentangnya. Sehingga, kata dia, pada akhirnya pemerintah kurang fokus mau di angka berapa pertumbuhan ekonomi yang mau dicapai.
“Sedang untuk nilai rukar rupiah malah lucu. Sekarang sudah ada UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Tapi sayangnya, pemerintah terkesan kurang optimis padahal kalau ada dana repatriasi maka rupiah pasti akan menguat,” ujar politisi Golkar ini.
Apalagi saat ini, kata dia, dunia usaha memang belum terlalu bergeliat. Pasalnya, daya beli masyarakat juga masih rendah. “Dan yang untuk membangunkan dunia usaha itu salah satunya dengan cara tax amnesty ini,” tegas Misbakhun.
Untuk itu, pemerintah diminta serius dalam menata arah pembangunan ke depan lewat APBN ini. Terlebih tidak bisa dipungkiri, gap baru kemiskinan masih terjadi.
“Sehingga pemerataan itu menjadi tugas penting pemerintah. Itu harus menjadi concern dari pemerintah. Terutama Bapenas dalam membuat arah penbangunan ke depan,” cetus Misbakhun.
Sebelumnya, anggota Komisi XI DPR lainnya, Hendrawan Supratikno menegaskan, pemerintah dalam menyusun APBN kurang serius. Buktinya, target yang sudah disusun itu selalu meleset. Bahkan sudah berkali-kali.
“Kita itu ingin buat APBN yang kredibel. Sehingga semakin kuat di mata investor. Kalau rentangnya 5,3-5,9 persen, itu dasarnya apa? Sehingga pasar melihat, APBN kita ini hanya bergantung sama nasib baik,” sindir Hendrawan.
Baginya, dua hal yang penting bagi pemerintah adalah dalam upayanya untuk menekan inflasi dan angka pengangguran. Karena dua hal ini yang berkaitan langsung dengan kemiskinan. Makanya pengambil kebijakan harus memperhatikan dua hal tersebut.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan