Jakarta, Aktual.com — Pengawasan Komisi XI DPR terhadap pengelolaan cadangan devisa (cadev) oleh Bank Indonesia (BI) tidak sampai ke hal teknis. Untuk itu butuh lembaga negara yang independen lainnya yang mesti mengawasi pengelolaan tersebut, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Salah satunya mengawasi apakah standard operational procedure (SOP) yang digunakan BI sudah sesuai standar hukum atau belum. Termasuk juga, jika pengelolaan nilai tukar rupiah itu harus stabil, maka stabil seperti apa yang disebutkan dalam UU Nomor 3 tahun 2004 tentang BI.
“Dan praktik pengawasan terhadap SOP seperti itu, tidak bisa dijalankan oleh pengawasan DPR. Siapa yang bisa memberikan penilaian paling fair, ya BPK,” kata Anggota Komisi XI DPR, Misbakhun di Jakarta, Selasa malam (12/1).
Selama ini, jelas dia, BI selalau berdalih pengelolaan devisa sudah sesuah SOP-nya. Cuma selama ini, pihak parlemen sendiri mengaku sulit untuk mengukur keberhasilan dari pengelolaan cadev itu berdasar SOP tersebut.
“Makanya perlu ada audit khusus terhadap pengelolaan cadev. Karena selama ini operasional seperti itu belum diaudit BPK,” tegasnya.
Menurut dia, yang perlu diaudit khusus adalah tak hanya cadev, tapi juga yang terkait dengan itu seperti surat berharga, pengelolaan valuta asing, dan stabilitas kurs. Apalagi dalam stabilitas nilai tukar rupiah itu sudah sesuai dengan UU BI atau belum? Karena kalau stabilnya itu tapi di angka tinggi, Rp13.000-14.000 per dolar AS, apakah stabil seperti itu mewakili nilai mata uang sebuah negara seperti Indonesia?
“Memang stabil, tapi stabilnya melemah. Padahal yang kita inginkan rupiah itu kuat. Bukan sekadar pengertiannya stabil,” tandas politisi dari Partai Golkar ini.
Ia juga mengomentari nilai cadev yang di akhir tahun lalu melonjak signifikan dati bulan sebelumnya. Per akhir Desember 2015, BI merilis jumlah cadev mencapai US$105,9 miliar. Angka ini melonjak US$5,7 Miliar dariNovember 2015. Tapi memang tidak sebesar akhir Desember 2014 yang menembus US$111 miliar.
“Itu (kenaikan cadev) karena ada utang yang masuk. Dari ADB (Asian Development Bank) sebesar US$500 juta dan dari beberap lembaga donatur lainnya,” cetus dia.
Makanya, parlemen selalu mewanti-wanti BI, hati-hati dalam mengelola cadev ini. “Karena cadev itu kita peroleh tidak dengan mudah. Ini dalam rangka membangun trust kepada pemerintah Indonesia,” pungkasnya.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan