Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun, mengaku prihatin dengan realisasi penerimaan pajak yang belum maksimal menjelang akhir tahun 2015.

Pasalnya, Dirjen Pajak baru berhasil merealisasi penerimaan sebesar Rp686,2 triliun atau sekitar 53,02 persen dari target penerimaan sebesar Rp1.294, 2 triliun.

Sekretaris Panja Penerimaan Negara DPR RI ini menghitung maksimum penerimaan pajak 2015 hanya mencapai 77 persen.

“Artinya defisit akan membengkak cukup besar. Mau tak mau pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan baru, yakni dari hutang. Itu kalau tak ada alternatif lain. Sementara kita mau bicarakan tax amnesty saja, media massa sudah meributkan. Tak dilihat ini kepedulian DPR mencari jawaban atas ‘shortfall’ serius seperti ini. Keinginan kita pengampunan pajak adalah ruang bagi Indonesia di sisa waktu dan diantara pilihan sulit yang ada,” ujar Misbakhun dalam RDP bersama Dirjen Pajak di Komisi XI DPR, Kamis (8/10).

Lebih lanjut, Misbakhun mengatakan, dari kejadian shortfall penerimaan negara tahun ini, sebaiknya Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan RI berani menghitung ulang target penerimaan negara untuk RAPBN 2016. Tujuannya adalah demi memastikan kegiatan perekonomian tetap berjalan.

Misbakhun menjelaskan, dalam kondisi perekonomian negara yang menurun, target penerimaan negara tak boleh terlalu tinggi. Sebab, target tinggi pasti berkonsekuensi pada semakin tingginya beban ke pengusaha dan ujungnya masyarakat.

“Jangan sampai target penerimaan pajak tinggi, realisasi pertumbuhan negatif, eh malah effort Negara malah menyebabkan konstraksi luar biasa di dunia usaha. Akhirnya semua bisa berantakan,” cetusnya.

Dalam RAPBN 2016 pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp1318 Triliun, naik 5,95 persen dari target 2015. Padahal, yang 2015 saja diprediksi defisit besar karena tak tercapai.

“Kalau perlu diturunkan, ya turunkan dong. Bagi saya, kalau mau ada relaksasi ini, akan jadi insentif bagi dunia usaha. Karena dalam situasi ekonomi berat, tak mungkin mengejar pengusaha,”

“Contoh saja Amerika Serikat. Saat krisis 2008, semua perusahaan mereka dibailout. Sampai beli mobil saja disubsidi. Tapi lihat sekarang AS sudah kembali, masih tetap negara termaju. Hanya dalam 6 tahun dia recover,” katanya.

Sementara itu, Politisi Partia Golkar ini mengingatkan target penerimaan negara terlalu tinggi juga akan berimbas kepada stigma negatif kepada pemerintahan Jokowi, serta kepada para pejabat di Ditjen Pajak dan Bea Cukai.

“Kasihan saya sama pemerintah pusat. Target penerimaan tak tercapai, indikator makro tak tercapai. Karena apa? Kita sudah tahu itu takkan tercapai, tapi kita bikin target tinggi-tinggi. Mari kita bicara bersama, cari solusi bersama. Jangan sampai nanti anda semua disalahkan secara kinerja dan politik. Padahal masalahnya cuma karena target yang tidak masuk akal sejak awal,” ungkapnya.

Misbakhun menambahkan, penurunan target penerimaan akan menjadi sinyal positif bagi pengusaha. Hal ini dikarenakan mereka sadar takkan jadi target utama Pemerintah lagi demi memenuhi target penerimaan.

Artikel ini ditulis oleh: