Jakarta, Aktual.com – Kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 masih dinilai jauh dari ideal lantaran tidak disertai oleh adu gagasan atau ide.

Pakar psikologi politik Hamdi Muluk menilai, kampanye Pilpres 2019 masih sebatas “perang jargon” semata. Perang jargon tersebut antara lain dapat tercermin dalam istilah tempe setipis kartu ATM, politik sontoloyo, dan wajah Boyolali.

“Kampanye yang ditampilkan masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak substantif, hanya jargon-jargon politik padahal seharusnya diisi dengan adu program dan gagasan berbasis data akurat,” kata Hamdi dalam diskusi di kantor Populi Center, di Jakarta, Kamis (15/11).

Akademisi asal Universitas Indonesia (UI) ini menilai tidak ada alternatif kebijakan yang ditawarkan masing-masing pasangan calon, misalnya, kubu petahana atau Jokowi-Ma’ruf, apa gagasan atau program alternatif yang akan dilakukan lima tahun kedepan.

Lalu di kubu Prabowo-Sandi, menurut dia, kritik yang dilakukannya harus berdasarkan data dan fakta sehingga kedua kubu seolah-olah tidak ada bedanya.

“Lalu pada akhirnya menyerang karakter calon yang sifatnya personal karena itu yang membedakan kedua kubu. Nyaris tidak ada beda antara kedua kubu dari sisi program,” ujarnya.

Menurut dia, dalam demokrasi mengharuskan seseorang atau kelompok berkompetisi karena jabatan terbatas maka terjadilah legitimasi diri sendiri dan deligitimasi lawan politiknya.

Menurut dia, untuk kubu penantang harus deligitimasi petahana dengan mengkritik, menyanggah dan berargumen terkait kebijakan yang dijalankan pemerintah.

“Cara yang paling beradab untuk mendelegitimasi lawan adalah delegimasi kebijakannya, serang kebijakannya. Semua argumen dikeluarkan untuk mendelegitimasi, baik visi misi gagasan, itu yang paling bermartabat,” tuturnya.

Dia menduga, kampanye yang dilakukan dalam pilpres tidak menggunakan metode deligitmasi politik yang mengkritik lawan politiknya, termasuk berdebat terkait visi misi dan program.

Hamdi menilai politik deligitimasi itu terhormat, namun apabila mengkritisi kebijakan dengan data palsu maka menjadi tidak terhormat misalnya, 99 persen rakyat Indonesia hidup pas-pasan namun akhirnya dibantah Bank Dunia.

“Lalu akhirnya delegitimasi gagal karena datanya hoaks lalu menyerang karakter orang dengan data hoaks seperti tuduhan PKI,” ujarnya.

Dia menilai dalam kampanye politik, adu retorika dan jargon merupakan hal yang biasa, namun dirinya meyarankan agar jargon yang dilontarkan para pasaangan calon harus mendidik masyarakat karena semua orang menginginkan politik Indonesia bermartabat.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan