Yogyakarta, Aktual.com – Sebagian masyarakat beranggapan bahwa tagar #KamiTidakTakut usai teror bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5), adalah bentuk perlawanan terhadap peneror untuk menunjukkan kalau aksi teror tersebut gagal atau tidak berhasil.

“Hal ini yang saya tolak. Faktanya, tetap ada korban jiwa yang jatuh, baik meninggal dunia maupun luka-luka. Faktanya teror itu berhasil,” tegas ahli mitigasi bencana, Elanto Wijoyono, kepada Aktual di Yogyakarta, Jumat (26/5).

Bila masyarakat kemudian terlena dengan pesan #KamiTidakTakut namun berhenti hanya pada gerakan tagar di media sosial, sebenarnya hal tersebut tak menjamin masyarakat lebih siap jika teror terulang.

Elanto memakai analogi pengalaman saat penanganan tanggap darurat bencana erupsi Merapi 2010. Andai saat itu publik gunakan medsos sekedar menyampaikan tagar #PrayForMerapi atau semacamnya, tentu tak akan mengubah situasi, sama sekali tidak menolong.

Namun, masyarakat justru berbagi informasi dan pesan konkret yang berdampak membantu. Medsos dipenuhi info-info penting untuk membantu warga terdampak dan mengantisipasi bencana susulan seperti banjir lahar, penyakit di pengungsian dan yang lain.

“Jika kita ingin menang terhadap teror, harus ada upaya sistematis yang digarap serius, tak sekedar puas dengan tagar #KamiTidakTakut, itu hanya mewajarkan teror. Takut itu manusiawi, rasa takut jadikan banyak negara kelola SOP keamanan yang konsisten,” paparnya.

Ia pun mempersoalkan upaya mitigasi apa saja yang sudah negara siapkan demi melindungi warga, pembelajaran apa yang sudah publik pelajari di situasi genting saat teror terjadi atau terulang.

Baginya, hal itu jauh lebih penting ketimbang merasa tidak takut tapi terlena tidak melakukan perbaikan apapun. Menyederhanakan situasi dengan #KamiTidakTakut justru mengabaikan fakta bahwa korban tetap berjatuhan dan sama sekali tidak adil bagi keluarga korban.

“Teror terjadi, muncul #KamiTidakTakut. Selang berapa waktu terjadi teror lagi, muncul lagi #KamiTidakTakut. Lalu terulang lagi teror, muncul lagi #KamiTidakTakut. Begitu seterusnya, hanya jadi siklus yang lambat laun teror akhirnya dianggap suatu kewajaran,” sindirnya.

Rasa takut mengajarkan masyarakat waspada dan membangun sistem pengamanan diri serta lingkungan. Rasa takut melahirkan ilmu analisis risiko yang turunannya bisa menjadi SOP keamanan, SOP tanggap darurat dan sebagainya.

“Hal inilah yang masih sangat lemah di Indonesia,” kata Elanto.

Belum lagi soal kebiasaan masyarakat yang spontan berkerumun di lokasi kejadian usai peristiwa-peristiwa teror terjadi, seperti teror bom Sarinah beberapa waktu lalu, mengabaikan faktor keamanan dan keselamatan diri sendiri.

Bom Kampung Melayu juga meledak lebih dari satu kali. Risiko ketika massa mudah berkerumun tanpa paham potensi teror atau bencana susulan tentu dipastikan potensi jatuhnya korban malah lebih banyak.

“Saya melihatnya ini sebagai bentuk penerjemahan #KamiTidakTakut yang salah kaprah,” ujarnya.

Masyarakat sama sekali belum paham bagaimana SOP saat teror terjadi. Apakah harus menjauh menyelamatkan diri, membantu menolong korban, atau ikut mengejar terduga pelaku. Publik sama sekali tidak punya ilmu itu, apa yang harus dilakukan.

“Apa yang sudah warga pelajari? Nol, baik untuk mitigasi maupun emergency. Negara wajib beri pemahaman tentang SOP ini, belajar dari apa yang sudah dilakukan banyak negara. Bekali diri dengan pengetahuan dan tindakan yang benar, itu wujud konkret melawan terorisme,” demikian Elanto.

 

Laporan Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis