Sebab Presiden RI Joko Widodo sudah menandatangani UU tersebut pada 16 Agustus lalu. Dengan begitu maka UU Pemilu resmi berlaku. “Kami berharap agar permohonan kami bisa diputus dengan cepat,” kata Habiburokhman.

“Dan tidak mengalami nasib seperti Uji Materi UU Pilpres Effendi Gazali 2013 yang perkaranya diputus hanya beberapa bulan sebelum Pemilu 2014. Akhirnya putusan MK tersebut tidak bisa diterapkan pada Pemilu 2014,” sambung dia.

ACTA menilai, pengesahan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017, khususnya pasal 222 secara terang menabrak logika sistem presidensial sebagaimana dalam UUD 1945.

Sejauh ini, sudah ada 12 pihak yang telah mengajukan uji materi terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Pengajuan tersebut dilakukan sejak akhir Agustus hingga awal September.

12 pemohon tersebut antara lain Partai Idaman, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Perindo, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Indonesia Kerja (PIKA), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI).

Selanjutnya Effendi Ghazali, Habiburakhman, anggota DPR Aceh serta Perludem bersama koalisi masyarakat pegiat Pemilu.

Adapun garis besar permohonan uji materi ada dua hal, yakni verifikasi parpol dan ambang batas pencalonan presiden. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan bertambahnya permohonan gugatan.

Pasalnya, UU Pemilu merupakan gabungan dari tiga peraturan sekaligus sehingga sangat memungkinkan ada banyak aturan yang berpotensi digugat.

Laporan: Fadlan Syiam Butho

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby