Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi diminta mengubah paradigma dalam memutus perkara pengujian formil karena selama ini tercatat tidak pernah mengabulkan permohonan uji formil.

“Harapannya Mahkamah Konstitusi mengubah paradigma dalam memutus perkara pengujian formil, sebab dalam pengujian formil Mahkamah Konstitusi kerap kali ragu dalam menggunakan batu uji,” ujar Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Violla Reininda dalam diskusi daring, Selasa (19/8).

UUD NRI 1945 disebutnya dapat dijadikan dasar penafsiran Mahkamah Konstitusi, misalnya, asas negara hukum dan kedaulatan rakyat yang bisa ditarik benang merahnya dalam pengujian formil.

Menurut dia, proses legislasi kini mengalami kemunduran dalam hal prosedural dengan melangkahi aturan pembentukan undang-undang. Sejumlah undang-undang yang dinilai pembentukannya tidak sesuai prosedur dan dalam proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi di antaranya adalah revisi UU KPK yang telah resmi diundangkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.

Selain itu, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-undang.

“Kami harap ini jadi momentum yang baik bagi Mahkamah Konstitusi untuk mendesain ulang bagaimana memutus perkara pengujian formil,” ujar Violla.

KoDe Inisiatif mencatat seluruh 44 pengujian formil di Mahkamah Konstitusi tidak ada yang dikabulkan. Pengujian Undang-Undang Mahkamah Agung disebutnya hampir dikabulkan karena Mahkamah Konstitusi menemukan adanya pelanggaran prosedur akibat kuorum tidak terpenuhi, tetapi Mahkamah Konstitusi menolak pengujian itu karena asas kemanfaatan.

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengakui cukup berat pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji formil karena telah banyak tindakan yang dilakukan berdasarkan undang-undang yang diuji itu.

Ia menilai saat sebuah produk undang-undang dinyatakan batal demi hukum, selanjutnya terdapat masalah pelik, misalnya, suatu lembaga sudah menjalankan fungsi undang-undang yang baru dan banyak kebijakan baru yang telah dikeluarkan. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin