Tokoh Nasional Rizal Ramli menyerahkan secara karangan bunga kepada Kepala Biro Humas dan Protokol MK, Rubiyo sebagai bentuk dukungan kepada dua Hakim Konstitusi, Saldi Isra dan Suhartoyo terkait perbedaan pendapat atau dissenting opinion uji materi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) di Gedung Mahakamah Konsitusi, Jakarta, Kamis (12/7). Rizal Ramli berpendapat ambang batas pencalonan presiden, bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, dalam UUD 45 dijelaskan bahwa, siapapun bisa menjadi presiden selama mendapat usungan partai politik (parpol). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang pleno dengan agenda perbaikan permohonan untuk pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), yang diajukan oleh sejumlah aktivis prodemokrasi.

“Agenda sidang pada Rabu (18/7) adalah perbaikan permohonan untuk uji UU Pemilu,” kata Juru Bicara MK Fajar Laksono di Jakarta, Rabu (18/7).

Para pemohon untuk perkara ini adalah mantan ketua KPK Busyro Muqoddas, mantan menteri keuangan M. Chatib Basri, mantan pimpinan KPU Hadar Nafis Gumay, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, sutradara film Angga Dwimas Sasongko, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perludem Titi Anggraini, Hasan Yahya, dan tiga orang akademisi, yakni Faisal Basri, Rocky Gerung, dan Robertus Robert.

Para pemohon menilai ambang batas 25 persen berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu telah menambahkan batasan baru yang tidak diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Menurut para pemohon, hal ini bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang hanya mengatur parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sesuai perumusan norma tersebut.

Dalam dalilnya pemohon menyebutkan berdasarkan Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, tidak ada pembatasan ambang batas pencalonan presiden, apalagi berdasarkan jumlah kursi dan suara sah nasional pemilu DPR berdasarkan hasil pemilu lima tahun sebelumnya.

Pemohon juga menyinggung tentang Putusan MK sebelumnya yang menyatakan pasal terkait ambang batas pencalonan presiden adalah konstitusional karena merupakan norma hukum yang terbuka.

Menurut para pemohon, ketentuan pasal undang-undang terkait ambang batas pencalonan presiden bukanlah penerapan dari konsep norma hukum terbuka karena UUD 1945 secara jelas telah memberikan batasan syarat dan tata cara pemilihan presiden yang harus dilakukan.

Selain itu, para pemohon berpendapat Pasal 222 UU Pemilu mendasarkan penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu DPR yang lima tahun sebelumnya, sehingga menghilangkan hak rakyat untuk memperbarui mandat lima tahunan.

Dalam petitumnya, para pemohon kemudian meminta Majelis Hakim agar membatalkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan