Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menyatakan menolak permohonan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengajukan uji terkait frasa “citra diri” yang tertuang dalam UU 7/2017 (UU Pemilu) terhadap UUD 1945.
“Amar putusan mengadili, dalam pokok perkara, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Kamis (24/1).
Mahkamah berpendapat permohonan PSI selaku pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sepanjang frasa “dan atau citra diri”, tidak beralasan menurut hukum.
Mahkamah mengatakan bahwa dalam UU 48/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dijelaskan kampanye yang menampilkan citra diri calon atau pasangan calon tanpa mencantumkan visi, misi, atau programnya, dapat terhindar dari pengawasan penyelenggara Pemilu. Oleh sebab itu untuk mengatasi kelemahan regulasi pemilu sebelumnya UU Pemilu kemudian mengadopsi frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu.
Dengan dimasukkannya frasa tersebut melalui penggunaan rumusan alternatif, maka tidak ada lagi kampanye Pemilu yang tidak dapat diatur dan diawasi.
“Dalam konteks ini, regulasi Pemilu sesungguhnya hendak menjaga agar kampanye berjalan secara adil dan dapat diawasi sehingga dapat menopang berjalannya pemilu secara jujur dan adil,” ujar Hakim Konstitusi memaparkan pertimbangan Mahkamah.
Dengan demikian, Mahkamah menyebutkan tidak ada lagi peserta atau pihak lain yang mencoba untuk memanfaatkan celah hukum yang ada untuk berkampanye secara terselubung karena semuanya akan terjangkau oleh lembaga pengawas Pemilu.
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa keberadaan frasa “citra diri” sesungguhnya juga tidak membuka ruang untuk tindakan sewenang-wenang penyelenggara Pemilu.
“Dalam arti, penyelenggara Pemilu tidak dapat menafsirkan frasa tersebut secara lentur,” lanjut Hakim Konstitusi.
Hal tersebut akan sangat sulit terjadi, sebab maksud yang dikandung frasa “citra diri” telah sangat jelas dan mencakup segala tindakan peserta pemilu terkait pencitraan dirinya. Kendati demikian, bila dalam pelaksanaan penyelenggara Pemilu penerapan norma tersebut dilakukan secara berbeda kepada peserta Pemilu, Mahkamah menilai hal itu lebih sebagai pelanggaran terhadap prinsip profesionalitas penyelenggara Pemilu dan bukan masalah konstitusionalitas norma.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin