Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menolak permohonan pengujian UU 1/PNPS/Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama (UU Penodaan Agama) yang diajukan oleh dua mahasiswa.
“Amar putusan megadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Jumat (14/12).
Para pemohon mendalilkan Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 4 UU Penodaan Agama seolah-olah menutup mata, memang terdapat perbedaan dalam beragama di Indonesia, sehingga membuat beberapa pihak dengan mudah menuduh orang lain melakukan penistaan agama.
Terkait dengan dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa konstitusi memberikan jaminan terkait dengan kebebasan beragama warga negaranya, yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat fundamental.
Selain itu Mahkamah juga berpendapat, keberadaan UU Penodaan Agama dapat dijadikan dasar untuk mencegah tindakan penyalahgunaan agama dan penodaan terhadap agama melalui tindakan administratif yang paling ringan sampai dengan yang paling berat.
Kendati demikian Mahkamah menilai pemidanaan terhadap penyalahgunaan agama dan penistaan agama merupakan hal penting, karena hal tersebut merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam pandangan hukum.
“Hal ini dikarenakan tidak ada orang atau lembaga manapun yang berhak melecehkan agama dan memperlakukan tidak hormat unsur-unsur keagamaan lain yang pada akhirnya menimbulkan keresahan dan kemarahan publik,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo mengutip Putusan Mahkamah Nomor 140/PUU-VII/2009.
Sementara itu mengenai petitum pemohon yang meminta Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP dimaknai tidak termasuk golongan berdasarkan agama, Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentun a quo adalah ketentuan mengenai ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada seseorang yang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia di muka umum.
“Pengertian golongan sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 KUHP adalah tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara,” ujar Suhartoyo.
Pengertian golongan ini berlaku bukan hanya untuk Pasal 156 KUHP, namun juga terhadap pasal-pasal selanjutnya.
“Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon mengenai frasa golongan dalam Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP yang dimaknai tidak termasuk golongan berdasarkan agama adalah tidak beralasan menurut hukum,” tukas Suhartoyo.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: