Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan akan konsentrasi menyelesaikan perkara sengketa Pilkada 2018, sehingga menunda sidang untuk perkara pengujian undang-undang termasuk perkara ketentuan presidential threshold dan jabatan presiden dan wakil presiden.

“MK sekarang ini sedang berkonsentrasi memutus perkara sengketa hasil Pilkada 2018 karena dibatasi waktu 45 hari kerja,” jelas juru bicara MK Fajar Laksono di Gedung MK Jakarta, Kamis (9/8).

Fajar mengatakan perkara-perkara pengujian undang-undang yang sudah mencapai tahap sidang perbaikan, akan kembali dilanjutkan setelah perkara Pilkada 2018 selesai.

“Mengenai manfaat atau tidak bermanfaatnya putusan MK kepada Pemohon bila perkara presidential threshold dan jabatan wakil presiden ini baru dilanjutkan nanti, itu kita lihat saja bagaimana pertimbangan Mahkamah,” kata Fajar.

Permohonan pengujian presidential threshold diajukan oleh mantan Plt Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. Ada pula sejumlah akademisi seperti Rocky Gerung, Faisal Basri, dan Robertus Robert.

Kemudian sejumlah pengamat hukum dan politik; Feri Amsari, Titi Anggraini, Dahnil Anzar Simanjuntak, Effendi Gazali, Reza Indragiri Amriel, Ahmad Wali Radhi, Khoe Seng Seng, dan Usman, serta beberapa perseorangan warga negara.

Para pemohon menyebutkan penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Selain itu, bila Pasal 222 UU Pemilu tetap diberlakukan, pemohon berpendapat hal itu berarti merupakan pembiaran oleh MK atas terjadi manipulasi atau penggelapan hasil hak suara pada Pemilu DPR 2014 untuk bukan tujuan-tujuan yang sebagaimana sudah disampaikan kepada warga negara.

 

Sementara itu, permohonan yang teregistrasi dengan nomor 60/PUU-XVI/2018 ini menguji Pasal 169 Huruf n UU Pemilu terhadap Pasal 7 UUD 1945 terkait dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden, terutama frasa “belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari tahun”.

Dalam sidang pendahuluan, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) selaku pemohon mendalilkan bahwa pengajuan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai satu pasangan terkendala dengan adanya frasa a quo dikarenakan Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2009.

MK mencatat terdapat empat permohonan untuk menjadi pihak terkait dalam perkara itu yang berasal dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, enam orang akademisi hukum tata negara, Aktivis ’98 yang diwakili Ubedilah Badrun, dan Keluarga Besar Rode 610 Yogyakarta.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan