Usaha untuk merajut karakter bersama, kehendak bersama, dan komitmen bersama dari suatu kebangsaan yang majemuk pertama-tama mensyaratkan hadirnya suatu negara persatuan. Dalam bagian akhir dari pidatonya pada 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan: “Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘Gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong!”

Selanjutnya, Soekarno menjelaskan bahwa gotong royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’. “Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama.”

Negara persatuan Indonesia, sebagai ekspresi dan pendorong semangat kegotong-royongan, harus mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, bukan membela atau mendiamkan suatu unsur masyarakat atau bagin tertentu dari teritorial Indonesia. Negara juga diharapkan mampu memberikan kebaikan bersama bagi warganya, tanpa memandang siapa dan dari golongan, etnis, atau agama apa mereka. Usaha mewujudkan negara persatuan itu dapat diperkuat dengan budaya gotong-royong dalam kehidupan masyarakat sipil dan politik dengan terus mengembangkan pendidikan kewargaan dan multikulturalisme yang dapat membangun rasa keadilan dan kebersamaan, dengan dilandasi prinsip-prinsip kehidupan publik yang lebih partisipatif dan non-diskriminatif.

Dalam memperkuat daya gotong-royong itu, keinginan hidup menjadi satu bangsa tidak akan mengarah pada nasionalisme yang sempit dan tertutup. Kedalam, kemajemukan dan aneka perbedaan yang mewarnai kebangsaan Indonesia tidak boleh dipandang secara negatif sebagai ancaman yang bisa saling menegasikan. Sebaliknya, hal itu perlu disikapi secara positif sebagai limpahan karunia yang bisa saling mempekaya khazanah budaya dan pengetahuan lewat proses penyerbukan silang budaya. Puncak-puncak kebudayaan daerah dan hasil persilangan antarbudaya daerah terhitung sebagai kebudayaan bangsa yang dapat memperkuat kepribadian nasional. Bahasa daerah serta penyerapan bahasa antardaerah bisa menjadi sumber pengayaan bahasa nasional.

Keluar, nasionalisme Indonesia juga nasionalisme yang memuliakan kemanusiaan universal dengan menjunjung tinggi persaudaraan, perdamaian dan keadilan antarumat manusia. Dengan mengutip ucapan Karamchand Gandhi, Soekarno menyatakan, “Buat saya, maka cinta saya pada Tanah Air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan berbicara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Dengan demikian nasionalisme Indoneia tidaklah bersifat “chauvinis” atau “provinsialis” yang memecah belah. Nasionalisme yang semacam ini, ia anggap sebagai bentuk “assyabiyah yang dikutuk Allah”.

Sepadan dengan keterbukaan nasionalisme Indonesia terhadap khazanah kemanusiaan universal, klaim universal pelbagai peradaban juga harus didialogkan dengan realitas setempat. Dalam kaitan ini, seperti pernah diingatkan oleh Nurcholish Madjid (1995), orang-orang beragama diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keagamaan dan keindonesiaan. Bahkan lebih mendasar lagi, umat beragama di Indonesia harus dapat menyongsong masa depan bangsa dan negara dalam semangat tiadanya lagi kesenjangan antara etika universal agama-agama dan Pancasila. Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, komunitas agama semakin diharapkan untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka penguatan persatuan Indonesia.

Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat semesta, tradisi-tradisi kebudayaan Indonesia juga harus senantiasa terbuka bagi inovasi kemodernan. Tradisi yang dinamis menghendaki adanya pembaruan, yang dengan tekun dikembangkan. Meskipun pembaruan itu, untuk keotentikannya, dan demi kekuatannya sendiri harus berlangsung secara mengakar pada kerangka acuan falsafah bangsa. Tidaklah banyak artinya mengenang kejayaan masa lampau tanpa kemampuan mengembangkan warisan kultural yang ditinggalkannya dalam status dialog yang dinamis dan lestari, yang menyatakan dirinya dalam gagasan-gagasan kreatif zaman sekarang. Sesuai dengan penjelasan konstitusi, ”Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia.”

Akhirnya, persatuan Indonesia dalam kerangka civic-political nationalism mensyaratkan loyalitas warga pada seperangkat cita-cita politik dan kelembagaan yang dianggap adil dan efektif. Untuk itu, formasi kebangsaan dalam kerangka menghadapi musuh bersama harus ditranformasikan menjadi usaha merealisasikan keadilan dan kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan apa yang disebut Bung Karno sebagai sosio-nasionalisme (nasionalisme masyarakat ) dan sosio-demokrasi (demokrasi masyarakat).
Dalam penjelasan Soekarno: “Nasionalisme-masyarakat,–sosio-nasionalisme–,bukanlah nasionalisme ’ngelamun’, bukanlah nasionalisme ’kemenyan’, bukanlah nasionalisme ’melayang’, tetapi ialah nasionalisme yang dengan dua-dua kakinya berdiri dalam masyarakat. Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara.”

Pembumian sosio-nasionalisme harus diikuti oleh sosio-demokrasi (demokrasi masyarakat). Soekarno menjelaskan: “Demokrasi masyarakat, sosio-demokrasi, adalah timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala Revolusi Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggeris, ala Nederland, ala Jerman, dll.,–tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi” (Soekarno, 1965: 174-175).

Selain perlu adanya basis kesetaraan dalam ekonomi, penguatan nasionalisme politik juga memerlukan kesetaraan kesempatan dan interaksi sosial. Sekolah-sekolah publik dan ruang publik lainnya harus bisa diakses oleh orang dari latar agama dan etnis apa pun, dan menjadi wahana peyerbukan silang budaya (cross-culture fertilization) yang dapat memperkuat budaya kewargaan (civic culture).

Dengan adanya kesetaraan dan keleluasaan dalam partisipasi publik, obsesi pada perbedaan akan beralih menjadi tendensi untuk mencari titik temu (persamaan). Dalam pada itu, warga juga bisa menemukan suasana saling pengertian, pada titik mana mereka bisa berbeda, dan pada titik mana pula mereka harus bersama. Dalam konteks kebersamaan dalam perbedaan itu, ada baiknya menyimak pandangan Fuad Hassan:
Ke-Kita-an kebangsaan tidak mengurangi kebersamaan-hak kebersamaan lain para konstituennya, yaitu bentuk-bentuk kebersamaan yang berdasarkan pada kenyataan-kenyataan lain. Misalnya kenyataan etnis, kenyataan religius, kenyataan partai, dll. Kalau kenyataan-kenyataan ini bisa tampil sebagai ke-Kami-an, maka ke-Kami-an seharusnya dapat melakukan transendensi menuju ke-Kita-an Indonesia. Dengan kata lain, ke-Kita-an Indonesia tidak mengeliminasi ke-Kami-an sebagai kenyataan hidup (living reality) yang menggejala di Indonesia. Tepat sebagaimana diwakili dalam motto ‘Bhineka Tunggal Ika’. Demikianlah Kita dan Kami tampil selang-seling (oscillation).”

Dalam mentransformasikan ke-Kami-an menuju ke-Kita-an, diperlukan sikap positif dan prasangka baik. Kerjasama dan sikap saling mempercayai serta iktikad baik masing-masing komunitas, yang diperkuat oleh jalinan gotong-royong secara fungsional antara berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada merupakan segi penunjang efisiensi demokrasi dalam suatu masyarakat multikultur. Seperti dinyatakan Nurcholish Madjid (1995: 67): “Masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada satu sama lainnya bukan saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup demokratis, tapi juga dapat menjurus kepada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarianisme), dan tingkah laku penuh percaya kepada iktikad baik kepada orang dan kelompok lain mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan yang positif dan optimis.”

Dengan demikian, kebangsaan Indonesia adalah ekspresi rasa syukur atas desain sunatullah (hukum Tuhan) yang menciptakan perbedaan, dengan menjunjung tinggi kesetaraan kemuliaan manusia, dengan mengembangkan sikap positif terhadap kemajemukan bangsa, melalui perwujudan demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial. Alhasil, seperti dinyatakan oleh Notonagoro (1974), “Sila Ketiga: Persatuan Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (bersambung)

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual