Transformasi Logos

Dengan menggali modal sejarah, kita juga bisa melihat betapa istilah ”pemuda” secara historis sering disandingkan dengan istilah ”pelajar”, seperti dalam sebutan ”pemuda-pelajar”.

Seturut dengan itu, ilmu dan kualitas pikiran dijadikan ukuran kehormatan. Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ‘kemajuan’, Bintang Hindia, Abdul Rivai mulai memperkenalkan istilah ‘bangsawan pikiran’. Dikatakan, “Tak ada gunanya lagi membicarakan ‘bangsawan usul’, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek-moyang kita keturunan bangsawan, maka kitapun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaitan kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ‘bangsawan pikiran’.”

Sejak itu, ‘pikiran’ menjadi peta-jalan bagi ideal-ideal generasi selanjutnya. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan. Sebuah generasi emas dalam sejarah Indonesia yang paling prolifik, paling produktif, paling visioner dengan jejak-jejak raksasa bagi masa depan Indonesia, bahkan pelopor gerakan-gerakan kemerdekaan bagi negeri-negeri terjajah.

Pengukuhan kembali kekuatan logos sebagaimana diperjuangkan oleh para pendiri bangsa itu terasa penting ketika daya pikir mulai ”dihinakan kembali oleh ‘kebangsawanan baru’, dalam bentuk kronisme dan politik dinasti, yang membawa mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya mediokritas, etos kreatif dan ekonomi kreatif sebagai basis daya saing global pada era pasca-industri tak bisa berkembang secara kondusif.

Jika bangsa ini ingin merevitalisasi elan vitalnya, seperti yang pernah dihidupkan oleh para pendiri bangsa, tak ada jalan lain bahwa pengetahuan dan pemahaman (logos) perlu ditingkatkan dengan memperbaiki sistem pendidikan dan pembelajaran sosial secara kolektif (collective social learning). Terbukti bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa hanya bertumpu pada modal sumberdaya alam. Yang terpenting justru modal sumberdaya insani. Bahwa kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus dipandang sebagai hasil dari proses belajar sosial. Kesetaraan kesempatan dan interaksi sosial menjadi kata kunci.

Setiap warga harus diberi peluang yang sama untuk bisa memasuki dunia pendidikan. Harus dicegah proses pendidikan yang mengarah pada pengukuhan segregasi sosial. Sekolah-sekolah publik harus bisa diakses oleh orang dari latar agama dan etnis apa pun, dan menjadi wahana peyerbukan silang budaya (cross-culture fertilization) yang dapat memperkuat budaya kewargaan (civic culture). Kapitalisasi dunia pendidikan harus dibatasi dengan meneguhkan kembali standar meritokrasi, di atas daya beli.

Transformasi Etos

Prasyarat lain sebagai basis kebangkitan adalah pembebasan bangsa dari kekerdilan mentalitas budak—yang mudah dilamun ombak dan bersilang sengkarut—dengan memberi isi dan arah hidup kebangsaan. Seperti kata Bung Karno dalam Amanat Proklamasi 1956: ”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte samasekali. Ia adalah bangsa penggemar emas-sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat,–tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong-mlompong di bagian dalamnya.”

Pada titik ini, yang kita persoalkan adalah perlunya transformasi pada dimensi etos kejuangan. Etos adalah karakter dan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya. Ia merupakan aspek evaluatif yang memberi penilaian atas berharga tidaknya sesuatu serta memberi orientasi atas tindakan manusia, yang tercermin dalam sikap dan pilihan-pilihan yang dikembangkannya.

Etos pemuda selama ini kental berkarakter kekerasan dan ”kemalasan”, seperti tercermin dari munculnya berbagai laskar dan mentalitas ”pegawai”. Dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa, etos seperti itu harus ditransformasikan ke menjadi etos kerja dan etos kreatif sesuai dengan karakternya masing-masing.

Dengan menggali modal sejarah, kita bisa bercemin bahwa peristiwa Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis dan status quois dari generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun itu, datang dengan etos kreatif. Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind, bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko, sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik (Boden, 1968).

Setelah 81 puluh tahun Sumpah Pemuda dicetuskan, krisis nasional dan global yang ditimbulkan oleh elemen-elemen kemapanan sekali lagi memanggil elan kreatif kaum muda. Sejauh menyangkut pemulihan ekonomi, Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class (2002) telah melukiskan secara baik tentang peran esensial dari kreativitas. Bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidaklah seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), melainkan bersandarkan pada inteligensia, pengetahuan dan kreativitas. Kreativitas manusia-lah satu-satunya sumberdaya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Canada, Australia dan New Zealand, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.

Isu utamanya di sini, bukanlah human capital dalam arti konvensional yang semata-mata diukur berdasarkan pendidikan formal, melainkan pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan ”teknologi, talenta, dan toleransi (3T)—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.

Adapun pelaku utama dari ekonomi kreatif (the creative economy) ini tak lain adalah anak-anak muda dengan etos kreatif yang kuat. Itulah sebabnya, mengapa dalam perekonomian global hari ini, banyak pengusaha sukses yang tumbuh dari orang-orang berusia muda.

Karena persoalan etos kerja dan etos kreatif ini erat kaitannya dengan situasi rohaniyah, tentu menimbulkan pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan modus pendidikan keagamaan kita. Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat yang dilukiskan bercorak religius, etos dan etika sosialnya lembek dan korupsi merajalela. Tidakkah hal ini berati bahwa semarak kehidupan keagamaan, seperti tercermin dalam pertumbuhan rumah ibadah dan jemaah haji, hanyalah kesalehan formal yang tidak mengarah pada kebersihan dan kesalehan sosial.
Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, kaum Muslim Indonesia dengan ajarannya paling bertanggung jawab untuk melakukan koreksi atas distorsi pemahaman dan praktik kegamaan.

Apakah Islam sejatinya memang tak memiliki etos kerja dan etos kreatif yang sepadan dengan tantangan modernitas? Tidak seperti salah-sangka Max Weber, yang mengatakan bahwa ajaran Islam yang anti-akal tidak memiliki persyaratan rohaniah bagi produktivitas dan kemajuan ekonomi, ajaran moral Al-Qur’an memancarkan etos kerja yang positif. Tak kurang dari 50 kali Qur’an memuat kata kerja aqala, yang berarti akal-pikiran. Secara tegas pula disebutkan bahwa ”tiadalah sesuatu bagi manusia, melainkan sesuai dengan apa yang dikerjakannya” (QS 52: 36-42). ”Setiap orang bekerja sesuai dengan bakatnya” (QS 17: 84). ”Dan jika engkau berwaktu luang, maka bekerjalah” (QS 94: 7).

Karena perintah Islam untuk aktif bekerja inilah maka Robert Bellah berani mengatakan, bahwa etos yang dominan pada komunitas Islam ideal adalah giat di dunia ini sebagai aktivis yang bersifat sosial dan politik, yang relatif dekat dengan etos yang dominan pada kehidupan modern.”

Afinitas antara dorongan rohaniah keagamaan dengan kegiatan perekonomian juga bisa dilihat jejaknya dalam Islam klasik di Nusantara. Islam masuk ke kepulauan ini melalui jalur perdagangan; juga terdapat kesesuaian antara kedalaman penghayatan keagamaan dengan kegairahan aktivitas perekonomian seperti dijumpai pada sukubangsa Minangkabau, Banjar dan Aceh; Begitu pun di Jawa, orang-orang kauman yang menumbuhkan industri batik, keretek dan perak, menjalankan kegiatan keagamaan dan perekonomian secara simultan; juga perlu disebutkan bahwa Sarekat Islam sebagai gerakan massa pertama di Indonesia lahir dari rahim saudagar-saudagar Islam (Abdullah, 1986).

Memang benar, lemahnya etos kerja, sebagai cerminan suasana rohaniah keagamaan, tidaklah berdiri sendiri. Ia saling bertautan dengan persoalan dukungan struktural. Clifford Geertz telah lama mengindikasikan, bahwa sekalipun etos ”kapitalisme”, seperti tercemin dalam sikap tekun, hemat dan berperhitungan, juga dimiliki oleh kaum santri, kekuatan ekonomi santri sulit menjadi besar karena tidak didukung oleh kemampuan organisasi yang baik. Kelemahan organisasi dan ketiadaan apa yang disebut ”corporateness”, solidaritas kekaryaan, dalam kaum santri secara umum juga dilihat oleh James Siegel di Aceh.

Pada ujungnya, kelemahan-kelemahan ini disebabkan oleh faktor birokrasi pemerintahan yang bersifat eksploitatif, yang melemahkan daya-daya korporasi dalam manyarakat. Wertheim mengatakan bahwa kebijakan pemerintah, bukan saja memberi contoh terhadap kehidupan ekonomi, tetapi juga menentukan tingkat kemajuan ekonomi. Dan kebijakan pemerintah yang buruk, bukan saja menghambat kemajuan, tapi juga melumpuhkan bibit-bibit kewirausahaan dan etos kerja yang telah tumbuh dalam masyarakat.

Jika persoalan organisasi (institusional) dan birokrasi (struktural) memerlukan waktu yang lama untuk membenahinya secara kolektif, setidaknya kita bisa mulai dari pembenahan pada tingkat personal: memulihkan etos kerja yang positif pada jiwa orang-orang Islam.
Pergeseran etos dan karakter ini memerlukan proses persemaian dan pembudayaan dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, non-formal maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Adapun karakter kuat ini dicirikan oleh kapasitas moral seseorang, seperti keterpercayaan dan kejujuran; kekhasan kualitas seseorang yang membedakan dirinya dari orang lain; serta keuletan dan ketegaran untuk menghadapi tantangan. Dalam kaitan ini, agama sebagai sumber pemupukan energi rohaniah terasa perlu untuk melakukan reorientasi diri: dari kecenderungan menekankan dimensi eksoterik yang bersifat simbolik, menuju dimensi esoterik yang menyuburkan kekuatan etis-estetis dan etos. (bersambung)

 

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual