Jakarta, Aktual.com —
It is our commitment to creativity in its varied dimensions
that forms the underlying spirit of our age
(Richard Florida, 2002)
Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan arus globalisasi yang kian luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, mengusik rasa hirau kita akan eksistensi bangsa kita di pentas dunia.
Banyak ahli meramalkan bahwa dengan tendensi kemandegan perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat, masa depan perkembangan dunia dilukiskan sebagai era kebangkitan Asia. Tetapi dalam era kebangkitan Asia ini, apakah takdir Indonesia sebagai negara besar hanyalah pelengkap penderita yang bercokol di halaman belakang dari dinamika kawasan? Ketika negara-negara lain di kawasan Asia-Pasifik makin percaya diri dengan daya saingnya, Indonesia justru menyongsong dinamika kompetisi pasar bebas dengan kurang meyakinkan.
Berbagai indikator yang menyangkut daya saing global, indeks demokrasi, dan korupsi, posisi Indonesia masih memprihatinkan. Padahal, dalam rasa keadilan Ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap berada di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan justru semakin membuktikan kebenaran dirinya. Bahwa di dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya.
Pendirian Budi Utomo pada 1908 merupakan percobaan berani dari minoritas kreatif pada zamannya untuk keluar dari keterbelakangan kaum terjajah dengan memperjuangkan kemajuan. Gerakan kemajuan yang dicoba diupayakan lewat pemupukan modal sosial, perbaikan pendidikan dan pertanian. Langkah-langkah rintisan ini, lewat persambungannya dengan gerakan-gerakan kebangkitan yang lain, melahirkan gelombang perubahan berskala nasional yang mumbuka jalan bagi persatuan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia.
Tulisan ini hendak menyoroti bagaimana menemukan kembali semangat kebangkitan, dengan mengambil tongkat estafet perjuangan kaum muda di masa lampau dalam usaha merawat persatuan nasional, dengan mengupayakan perubahan paradigmatik dalam kebudayaan. Perubahan kebudayaan ini terutama menyangkut tiga dimensi utamanya, yakni dimensi mitos, logos, dan etos/karakter, dalam wawasan nasional kita.
Modal Persatuan
Integrasi nasional merupakan prasyarat bagi kemajuan bangsa di bidang yang lain. Selama kita belum menemukan formula untuk menjaga pertautan yang harmonis antara keragaman dan persatuan, usaha apapun yang kita kerjakan mudah dirobohkan kembali oleh pertikaian dan disintegrasi sosial.
Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz (1963), Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Nama Indonesia sebagai proyek ‘nasionalisme politik’ (political nationalism) memang baru diperkenalkan sekitar 1920-an. Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan berakar pada tanah-air beserta elemen-elemen sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di Nusantara.
Prinsip ketiga Pancasila meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan Indonesia. Suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity; diversity in unity); yang dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan ’bhineka tunggal ika’.
Dengan kelahiran negara nasional Indonesia, satuan-satuan komunitas politik pra-Indonesia–yang dalam perspektif primordialis dan perenialis bisa dilukiskan telah membentuk aneka bangsa tersendiri—diturunkan posisinya menjadi ’suku bangsa’. Dalam ungkapan Soekarno, ”Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi bangsa Indonesia banyak kakinya…. ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa… kaki daripada satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia!”
Alhasil, kebangsaan Indonesia adalah satu tubuh dengan banyak kaki. Setiap kaki ini tidak ingin diringkus dan ditebas, melainkan tetap dipertahankan untuk memperkokoh rumah kebangsaan Indonesia. Jangan pula antarkaki saling menendang yang bisa menimbulkan keretakan dan akhirnya bisa membawa roboh bangunan keindonesiaan.
Mengupayakan persatuan dari masyarakat plural seperti Indonesia bukanlah perkara yang mudah. Sejak awal berdirinya republik ini, para pendiri bangsa menyadari sepenuhnya bahwa proses nation building merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan. Bung Karno, misalnya, membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan “suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa”.
Dengan mengacu pada pendapat Ernest Renan, Bung Karno mengatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa (une nation est un âme). Satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar (une nation est un grand solidarité). Kebangsaan tidak tergantung pada persamaan bahasa, meski dengan adanya bahasa persatuan bisa lebih memperkuat rasa kebangsaan. Kalau begitu, apakah gerangan yang mengikat manusia menjadi satu jiwa? Dengan mengutip Renan, Soekarno mengatakan bahwa yang menjadi pengikat itu adalah kehendak untuk hidup bersama (le désir d’ être ensemble). “Jadi gerombolan manusia meskipun agamanya berwarna macam-macam, meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacam-macam, asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama, itu adalah bangsa.”
Dengan mengacu pada pendapat Otto Bauer, Soekarno juga menekankan perwujudan bangsa sebagai ekspresi persamaan karakter yang tumbuh karena persatuan pengalaman. “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.” Dari pendapat Bauer ini, Soekarno menyimpulkan bahwa “meskipun agamanya berlain-lainan, meskipun warna kulitnya berlain-lainan, meskipun bahasanya berlain-lainan asal ia tadinya, yaitu gerombolan manusia itu, mengalami bertahun-tahun, berpuluh-puluh, beratus-ratus tahun mungkin mengalami nasib yang sama, maka karena mengalami nasib yang sama itu akan tumbuh persatuan watak dan persatuan watak inilah yang menentukan sifat bangsa.”
Dengan pernyataan ini, Soekarno memiliki alasan untuk menyanggah keberatan kalangan Islam dan kaum internasionalis Marxis yang menolak faham kebangsaan. Menurutnya, meskipun Islam hanya mengenal umat manusia atas dasar kesamaan hamba Tuhan dan internasionalis Marxis hanya mengenal ide persaudaraan umat manusia atas dasar cita-cita sosialis sedunia, keduanya tak bisa menolak fakta objektif. Bahwa manusia itu terbagi dalam golongan-golongan: “Ada golongan besar yang berkulit putih, ada golongan besar yang berkulit hitam, ada golongan besar yang berkulit kuning, ada golongan besar yang berkulit merah-sawo dan lain sebagainya.” Juga tak bisa dimungkiri, “Terutama sekali bagi satu golongan manusia yang berabad-abad mengalami persamaan penderitaan dan pengalaman, bagi golongan manusia yang demikian itu, in casu yaitu rakyat kita, rasa kebangsaan bukan lagi satu cita-cita, tetapi satu fakta objektif.” Akhirnya dia simpulkan bahwa, “Di atas dasar fact ini kita tidak boleh tidak harus mengakui adanya bangsa dan kebangsaan” (Soekarno, 1958c).
Secara singkat dapat dikatakan, keberadaan bangsa Indonesia terjadi karena ia memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani suatu kesatuan riwayat, yang membangkitkan persatuan karakter dan kehendak untuk hidup bersama dalam suatu wilayah geopolitik yang nyata. Sebagai persenyawaan dari ragam perbedaan, suatu bangsa mestinya memiliki katakternya tersendiri yang bisa dibedakan dari karakter unsur-unsurnya. (bersambung)
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual