Mudhir Idaroh Wustho JATMAN DK JAKARTA, Irawan Santoso Shiddiq

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq, SH (Mudhir Idaroh Wustho JATMAN DK JAKARTA)

Jakarta, aktual.com – Epos peradaban, tak lepas dari pertarungan antar aqidah. Jamak berlangsung pertarungan antar pengikut jabariyya dan qadariyya. Keduanya kerap bertarung. Modernisme tentu wujud dari wajah neo qadariyya. Hanya istilahnya berbeda. Renaissance jadi muasalnya. Ini yang dikenal ‘Pencerahan.’ Makna mendalamnya, berarti masuknya filsafat ke belantara Eropa. Era itu, Eropa masih terjerambab paham bak jabariyya. Slogan ‘the king can do no wrong’ begitu melekat. Raja dianggap wakil Tuhan. Wajah Eropa masih berbentuk kerajaan, yang kesemuanya tergabung dalam Imperium Romanum Socrum. Gereja Roma menjadi pentasbih disahkannya raja-raja. Dua kerajaan besar, Spanyol dan Perancis, menjadi motor. Tapi Dinasti Habsburg kerap bersaing dengan Perancis. Masa itu pula, aliansi Franco-Kesultanan Utsmani terbentuk. Utsmaniyya masih gagah perkasa. Perannya bisa dibandingkan dengan negara USA kini. Karena pengaruh Utsmaniyya sampai pelosok-pelosok Eropa.

Mundur sedikit ke belakang, azas ‘Vox Rei Vox Dei’ (Suara Raja Suara Tuhan) itulah patokan. Ini jabariyya murni. Makanya keputusan dan titah Raja, wajib disanggah. Raja tak pernah salah. Jika salah, maka ‘the king can do no wrong.’ Kejadian Magna Charta di kerajaan Inggris, 1215, menggoyang ‘Vox Rei Vox Dei.’ Karena Raja John tunduk pada Dinasti Plantegenet, para baron yang terdiri dari Ordo Ksatria. Mereka ordo yang terbentuk pasca proyek Perang Salib yang panjang. Dr. Ian Dallas (Shaykh Abdalqadir as sufi), Mursyid dari Eropa, menulis dalam ‘The Interim is Mine,’ tragedy Magna Charta itu begitu dikutuk Gereja Roma. Karena menganggap kerajaan Inggris telah keluar dari liga. Dallas menyebut, tunduknya raja di tangan para baron itu, tentu karena pengaruh ajaran Sultan Sallahuddin al Ayyubi. Ketika perang salib yang berabad-abad, terjadi interaksi antara pasukan Muslim dan Nasrani. Tawanan pasukan Nasrani, kemudian dididik kembali etos kekesatriaan. Diajarkan futtuwa. Virtue. Kebajikan. Mereka diajarkan ajaran Nasrani, yang merujuk pada kesahihannya. Karena ‘crusaders’ dianggap terjadi pembelokan ajaran. Pengaruh itulah yang kemudian membentuk ordo Ksatria, Dinasti Plantegenet di Inggris.

Di Eropa, Plantegent bersinggungan dengan ajaran Gereja Roma. Mereka menganggap ‘the king can do wrong’ tidak mutlak. Ketika Pangeran salah, maka tak wajib dipatuhi. Robert Deveroux, Earl of Esse kedua dari klan Planteget, adalah kesatria terakhir pewaris ajaran itu.

Renaissance kemudian hadir. Filsafat masuk ke Eropa. Disinilah pertarungan aqidah antara pengikut Gereja Roma dan pembaharu makin kencang. Kejadian Copernicus, Galileo sampai dibakarnya Bruno di tiang pancang, menunjukkan perang ‘aqidah’ panjang. Karena Roma menganggap sumber ‘Kebenaran’ adalah Wahyu, yang ditafsirkan Gereja. Tapi kubu renaissance menampik. Dogma Roma banyak bertentangan dengan rasio. Kaum renaissance –yang mereka mengambilnya dari ajaran mu’tazilah—melakukan perlawanan. Dari persoalan kosmosentris, kemudian masuk ranah kekuasaan. Perihal ‘the king can do wrong’ mulai disoal.

Dimulai ketika Marthin Lutern dan John Calvin yang melakukan protes. Ajaran Roma dianggap terlalu jumud. Kekecewaan pada Roma yang telah memuncak, karena kekalahan dalam Crusaders, makin meninggi. Karena dianggap Roma tak bisa mengembalikan kejayaan Eropa. Sementara Islam, dibawah Daulah Utsmaniyya kala itu, masih gagah perkasa. Maka ajaran Luthern dan Calvinis makin diminati. Pengikutnya membesar. Sampai mempengaruhi para bangsawan dan Pangeran. Melihat bahaya, Roma mengeluarkan fatwa. Pengikut pembaharu Kristen itu dinyatakan bid’ah. Edict of worm, abad 16, menjadi acuan bid’ah bagi Luthernian dan Calvinis.

Klimaksnya berlangsung 1572. Di kerajaan Perancis, terjadi pembantaian berdarah. Chistopher Marlowe, dramawan Perancis menuliskannya dalam ‘Massacre at Paris.’ Dalam peringatan ‘Hari Santo Bartolomews’, genosida berlangsung. Ribuan Calvinis dan Luthernian dibantai. Termasuk para filosof, yang melancarkan renaissance. Sejak itu, ajaran ‘jabariyya’ ala Roma makin ditinggalkan. Karena muncul beragam pertanyaan yang tak bisa dijawab para agamawan, ‘Benarkah Tuhan menghendaki pembunuhan? Benarkah Tuhan memerintahkan seperti itu? Benarkah Raja itu wakil Tuhan?”

Mulailah dialektika tajam perihal ‘Perbuatan Tuhan’ dan ‘perbuatan manusia’ memuncak. Roma menganggap ‘being’ itu adalah mutlak ‘Kehendak Tuhan.’ Sementara filsafat, yang dibawa masa renaissance, mulai melancarkan bahwa ‘being’ itu ‘kehendak manusia.’ Ajaran filsafat diminati. Karena mengajarkan perihal ‘kehendak bebas.’ Free will.

Machiavelli hadir di Florence. Dia berteori, ‘Kekuasaan itu bukan given.’ Melainkan layak didapat oleh siapa yang berhak dan mempertahankan kekuasaan. Il Principe menjadi bacaan. Machiavelli menentang dogma bahwa penguasa adalah ‘kehendak Tuhan.’ Melainkan sepenuhnya ‘kehendak manusia.’ Kehendak rakyat. Ini yang diteruskan Thomas Hobbes dalam ‘Leviathan.’ Sampai puncaknya pada Rosseau, yang menelorkan teori ‘du contract sociale.’ Kekuasaan adalah kontrak social antara Pangeran dan rakyat.

John Locke sempat membantah. Kekuasaan, katanya, adalah duel contract. Kontrak Pangeran dan Tuhan, lalu antara Pangeran dan rakyat. Rosseau memangkasnya. Hanya antara ‘Pangeran dan rakyat.’ ‘Kehendak Tuhan’ dieliminasi.

Ini pula yang dimunculkan Rene Descartes. Cogito ergo sum maknanya, tak ada lagi ‘Kebenaran’ yang berasal dari Wahyu. Melainkan sepenuhnya bersumber dari ‘akal’ manusia. Karena Tuhan, manusia, alam semesta, –kata Descartes–, adalah hasil penyelidikan akal manusia. Jadi, tak ada sesuatu dianggap ‘kebenaran’ jika belum melewati resume rasio. Ditambah acrobat Immanuel Kant. Teori empirismenya, memaksa bahwa ‘sesuatu dianggap Kebenaran’ jika sudah teruji. Maka ajaran Cartesius dan Kantian ini yang menggema. Maka kemudian lahirlah modernisme. Tentu ini sebuah aqidah. Bentuk dari neo qadariyya.

Era mu’tazilah dulu, filsafat tak sampai membawa orang keluar dari agama. Tapi era modernisme, filsafat membuat orang menuju pada ateisme. Karena mutlak menganggap ‘being’ adalah ‘perbuatan manusia.’ Bukan ‘Kehendak Tuhan.’

Wajah modernisme ini yang diekspor kaum Eropa. Mulainya era pasca Revolusi Perancis. Ini adalah perang aqidah besar. Antara pengikut jabariyya Roma dan neo qadariyya. Robiespierre, tentu pengusung ‘free will.’ Dia mengacu pada kitabnya Rosseau. Bahwa ‘being’ adalah kehendak manusia. Raja, ditentukan oleh manusia. Bukan oleh kelompok agamawan. Maka kemudian terjadi perang besar. Tapi kaum revolusi yang menang. Adagium ‘Vox Rei Vox Dei’ pun dikudeta menjadi ‘Vox populi Vox Dei.’ Manusia yang menentukan kepemimpinan sendiri. Tak ada lagi peranan agama. Inilah yang melahirkan sekulerisme-liberalisme. Di wilayah hukum, lahir positivism. Wilayah perdagangan, muncul kapitalisme.

Setelah Revolusi Perancis, maka berdiri Republik Perancis. Mereka mengekspor aqidah ke berbagai belahan Eropa. Sampai Amerika Serikat, berdiri dengan paham ini. Mereka tak tunduk lagi pada Gereja Roma. Dan kemudian negeri-negeri Eropa seluruhnya serupa. Neo qadariyya yang mewarnai belantara Eropa.

Seabad pasca revolusi Perancis, paham itu mulai merambah negeri muslim. Mesir yang dikooptasi pertama. Napoleon menganeksasi Mesir, berikut membawa para saintis, filosof dan pengajar-pengajar modernisme. Jadilah pertarungan ‘Islam tradisionalis vs Islam modernis’ di Mesir berlangsung.

Sejak itu, menurut Shaykh Abdalhaq Bewley, ulama asal Inggris, maka wajah Islam berbentuk menjadi beberapa. Ada kaum puritan, yang seolah kembali pada Islam murni. Tapi intinya memusuhi Sunnah. Inilah kaum wahabbi. Mereka disokong kaum modernis barat, untuk sama-sama menjatuhkan Daulah Ustamniyya. Tentu Utsmaniyya adalah pengusung sufi, penjaga ahlul Sunnah.

Proyek selanjut, melahirkan kelompok Islam modernis. Dengan dalih memerangi TBC, wajah Islam modernis ini sejatinya pengikut ajaran ‘modernisme’ yang lahir di barat itu. Kemudian tersisa kelompok ‘tradisionalis,’ penjaga Sunnah. Dialektika ini yang berlangsung selama pasca mencuatnya modernisme.

Tentu ‘modernisme’ seolah dikonotasikan pada ‘kemajuan’ dengan parameter sains. Ini yang menggoda negeri-negeri muslim. Maka muncul dialektika, bahwa kemunduran Islam disebabkan kejumudan.

Menurut Shaykh Abdalqadir as sufi, padahal ini hanya alibi kepada kaum yang ingin duduk sejajar dengan kuffar. Maka kita bisa lihat hasilnya. Pengusung puritanisme di Arab, tak pernah bisa lepas dari kendali barat. Pengikut modernis Islam, selalu membebek pada barat. Karena mereka hanya meniru apa yang dilakukan oleh barat. Alhasil terjadi kehilangan ‘furqon’ antara Islam dan kuffar.

Tersisa hanya pada ‘tradisionalis.’ Ini kerap digambarkan sebagai ‘kaum kampungan’ yang di Indonesia disebut ‘kaum sarungan.’ Padahal sejatinya inilah kelompok yang menjaga tradisi, maknanya tradisi Islam. Bukan yang sifatnya ‘ketinggalan jaman.’

Karena ‘tradisionalis’ berarti menjaga kemurnian Islam, berlandas pada sanad atau riwayah. Modernisme tentu menihilkan itu. Karena urusan ‘kontent’ lebih penting ketimbang perihal tradisi riwayat.

Perbedaan besar tentu dalam melihat Qada dan Qadar. Modernisme mengajarkan ‘Qadar’ itu bisa berubah. Manusia seolah bisa ‘menentukan’ Qadar. Karena azas ‘free will’ tadi. Sementara aqidah Ahul Sunnah, mutlak perihal itu. Qada dan Qadar sudah dituliskan dalam Lauh Mahfudz. Ini tak bisa dijangkau ‘perbuatan manusia.’ Tapi ajaran neo mu’tazilah terus dikembangkan para modernis Islam. Dan ini yang kemudian menyusup tajam ke Nadhlatul Ulama. Sebuah jejaring masyarakat penjaga ajaran ‘tradisionalis’ yang merujuk pada Sunnah.

Tentu secara organisatoris, didirikan KH Hasyim Asyaari, sebagai penjaga aqidah Asy’ariya. Karena modernisme, tentu menafikan ‘Qudrah dan Iradah’ adalah domain Tuhan. Sementara Asy’ariya mutlak ini adalah kewenangan Tuhan. Bukan ‘perbuatan manusia.’

Namun ajaran modernisme ini yang kemudian masuk ke kurikulum sekolah sampai perguruan tinggi. Tentu yang dibawah dominasi pemerintah. Sementara pesantren-pesantren, yang teguh memegang kendali ajaran Asy’ariyyah, ini yang perlahan-lahan disusupi. Sehingga ajaran modernisme mulai pelan menyusup.

Ditambah kepungan system, mulai hokum, politik, ekonomi, social, yang kesemuanya berlandas ajaran modernisme. Disinilah Nadhlatul Ulama makin tertantang untuk terus mempertahankan aqidah. Tentu para modernis luar tak berhenti. Mereka akan mengincar dan mendidik para Nahdliyyin yang bisa disusupi cara berpikir modernis. Dengan beasiswa studi di barat, maka kembali ke nusantara akan membawa cara berpikir modernisme. Sehingga akan mengoyak cara berpikir tradisionalis yang selama ini terjaga. Ujungnya adalah proyek ‘moderasi’ beragama. Karena proyek ini yang gencar diberikan kepada kaum tradisionalis.

Kelompok modernis Islam, tentu bukanlah momok yang ditakuti kuffar. Karena secara pikiran, mereka telah tertaklukkan. Kaum puritan wahabbi, juga hanya melahirkan jihadis teroris, yang kerap salah sasaran. Bukan sesuatu yang bisa menghancurkan modernisme.

Maka sasaran terbesar adalah para Nadhliyyin. Yang terus dirongrong agar bersedia menerima ‘modernisme.’ Tentu dengan berbagai dalih dan alibi. Tentu dengan godaan duniawi.

Shaykh Abdalqadir as sufi berkata, ‘Islam tak dikalahkan dengan pedang. Tapi melalui pemikiran.’

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain