Osaka, aktual.com – Sebuah momen diplomasi budaya yang penuh makna terjadi di Paviliun Indonesia, Expo 2025 Osaka–Kansai, Jepang. Acara bertajuk Sakuranesia “Friend-Ship” Japan–Indonesia Cultural Dialogue ini menghadirkan dua tokoh penting dari dua bangsa: Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko, mantan Panglima TNI dan mantan Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia, serta Iehiro Tokugawa, pewaris generasi ke-19 dari keluarga Tokugawa, salah satu klan paling berpengaruh dalam sejarah Jepang.
Acara yang dihadiri sekitar 100 peserta dari kalangan bisnis, akademisi, diplomatik, dan seniman ini menjadi panggung dialog lintas budaya yang menyoroti pentingnya perdamaian, keamanan manusia, dan martabat dalam konteks dunia yang semakin kompleks secara geopolitik.
Diskusi panel utama yang bertema “Peace, Human Security & Dignity” menghadirkan percakapan mendalam mengenai ancaman krisis global, mulai dari perubahan iklim, perebutan sumber daya, hingga ketegangan politik antarnegara. Dalam pidatonya, Moeldoko menegaskan bahwa diplomasi budaya adalah salah satu bentuk resolusi konflik yang paling bermartabat dan berkelanjutan.
“Sebagai aktor formal, saya sudah selesai. Tetapi sebagai prajurit, saya adalah prajurit yang tidak pernah mati: old soldier never die. Kini saya memilih jalur budaya sebagai arena perjuangan,” ujar Moeldoko di hadapan para hadirin.
Ia juga menyinggung nilai-nilai kemanusiaan yang diwariskan budaya Indonesia, seperti falsafah Jawa “Tata Titi Duduga Peryoga”, yang sejajar dengan ajaran Bushido dari Jepang. Nilai-nilai ini menjadi fondasi untuk membangun masa depan yang damai dan bermartabat.
Sementara itu, Iehiro Tokugawa, dalam kapasitas simbolisnya sebagai penerus klan Tokugawa, turut menekankan pentingnya menjaga warisan moral dan budaya leluhur sebagai kekuatan lembut (soft power) untuk memelihara stabilitas global.
Dalam acara tersebut, Wakil Walikota Nanto, Muneto Saito, mempersembahkan sebuah hokora—kuil kecil dengan ukiran khas daerah Inami—kepada perwakilan Indonesia. Hokora ini akan ditempatkan di Kuil Shin’yū di Indonesia sebagai simbol persahabatan abadi antara kedua negara.
Momen ini menjadi penegasan penting bahwa kerja sama budaya tidak hanya berhenti pada dialog, tetapi juga diwujudkan melalui simbol konkret yang membawa makna spiritual dan historis.
Semangat kolaborasi diwujudkan dalam pertunjukan seni lintas negara. Kota Nanto menampilkan dua kelompok seni unggulannya:
• Kiyari Dance Group, dengan 31 penari yang menampilkan tarian tradisional Jepang, dan
• Sukiyaki Steel Orchestra, grup musik yang memadukan instrumen baja dengan irama modern.
Kedua kelompok ini tampil bersama Duta Melati, grup seniman muda dari Indonesia, dalam pertunjukan bertajuk Kyōen (kebersamaan suara). Kolaborasi ini menyampaikan pesan universal bahwa seni adalah bahasa yang mampu melampaui batas bahasa, bangsa, dan ideologi.
Sebagai kelanjutan dari kegiatan di Expo, para tokoh dari Indonesia termasuk Moeldoko, Iehiro Tokugawa, dan perwakilan kedutaan melakukan kunjungan budaya ke Kota Nanto, Prefektur Toyama, pada 2 Agustus 2025.
Dalam kunjungan bertajuk “Friend-Ship Experience”, rombongan menikmati:
• Pertunjukan “Kokiriko” dan pengalaman alat musik tradisional sasara di Desa Ainokura (Warisan Dunia UNESCO)
• Pengalaman menumbuk mochi di Kuil Zentokuji
• Makan siang khas daerah Nanto dengan bahan lokal
• Tur ke bengkel ukiran kayu tradisional di Inami dan kunjungan ke Kuil Zuisenji, pusat spiritual dan seni ukir Jepang
Kegiatan ini bertujuan mempererat ikatan emosional dan kultural antara masyarakat kedua negara, sekaligus membuka jalur kerja sama promosi budaya dan pariwisata berkelanjutan.
Salah satu bagian paling menyentuh dari acara ini adalah seruan Moeldoko mengenai pentingnya membangun “negara berperasaan”—sebuah negara yang menjamin rasa damai, rasa aman, dan martabat warganya.
“Politik kasih sayang bukanlah slogan. Ia tumbuh diam-diam dalam keputusan-keputusan kecil yang adil. Di sekolah yang menerima anak miskin. Di puskesmas yang tidak memandang status. Di jalan desa yang tetap diperbaiki meski tak viral,” ungkap Moeldoko.
“Mari kita bermain di bawah Pohon Kuri, Tokugawa-san. Dan kita bersama mewujudkan negara berperasaan: negara yang hadir bagi yang lemah, adil bagi yang berbeda, dan setia pada rasa kemanusiaan,” katanya.
Acara ini merupakan bagian dari proyek Inochi・Chikyuu・Mirai (Kehidupan, Bumi, dan Masa Depan) yang digagas oleh Yayasan Sakuranesia. Melalui pendekatan budaya yang inklusif dan bermakna, Sakuranesia hadir sebagai platform baru diplomasi antarbangsa yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, dan keberlanjutan.
Dalam dunia yang makin keras dan kompetitif, pendekatan semacam ini menjadi oase yang menyegarkan: bahwa perdamaian tidak hanya diupayakan oleh negara-negara kuat, tetapi juga oleh mereka yang punya hati dan kesadaran budaya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















