Jakarta, Aktual.com – Nama Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mencuat sebagai cawapres alternatif yang disukai Jokowi di antara calon lain dari militer. Dia digadang-gadang bakal mendampingi Joko Widodo di Pilpres 2019. Tampilnya Moeldoko di bursa cawapres akan memberikan warna unik di dalam debat pemilu, terutama ketika isu ancaman negara mencuat.

Jokowi sendiri pernah ditanya sebuah media online, tentang sosok militer yang akan mendampinginya di ajang Pilpres 2019 mendatang. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu diminta untuk memilih dengan cepat antara Prabowo Subianto atau mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo ataukah Jenderal Moeldoko (Bakal jadi cawapresnya-red). Setelah mengkerutkan keningnya, secara refleks, Jokowi menyebut nama Moeldoko.

Artinya Jokowi lebih memilih Moeldoko ketimbang Jenderal lainnya semisal Gatot Nurmantyo atau Prabowo Subianto. Wartawan kembali menanyakan ketegasan Jokowi, ‘Pak Prabowo atau Pak Gatot? Jokowi tetap konsisten menyebut nama Moeldoko. Pertanyaan menjebak Jokowi itu terjadi di kantornya, Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/4/2018) silam.

Memang ketika berhadapan dengan isu ancaman negara, posisi Prabowo di bursa capres lebih kuat. Latar belakangnya di militer memberikan keunggulan dibandingkan Jokowi yang berasal dari sipil. Namun bila didampingi oleh Moeldoko, Jokowi akan mampu memperkuat posisinya dan mempertajam strateginya di dalam isu ketahanan negara.

Tidak hanya itu, Moeldoko pun mampu untuk me-leverage perhatian dan visi Jokowi di bidang pertanian. Apa yang telah dimulai oleh Jokowi dengan pembangunan infrastruktur pertanian, akan diselesaikan Moeldoko dalam hal SDM, produktivitas dan teknologi pertanian yang mumpuni.

Uniknya nama Moeldoko dalam bursa cawapres ini bukan dirilis oleh parpol peserta pemilu 2019. Nama panglima tani itu muncul sebagai opsi cawapres dari kalangan non-parpol yang berlatar belakang militer.

Pada 24 Maret-6 April 2018 Lembaga Survei Media Nasional (Median) merilis sejumlah nama cawapres potensial yang bakal mendampingi Joko Widodo di pilpres mendatang. Median melibatkan 1.200 responden. Elektabilitas Moeldoko hanya mencapai 0,7% saja pada saat itu.

Lembaga survei tersebut juga menyebut sejumlah nama yang memiliki elektabilitas tertinggi sebagai cawapres adalah Anies Baswedan 6,4%, Gatot Nurmantyo (5,4%), Prabowo Subianto (4,9%), Muhaimin Iskandar (4,7%) dan AHY (3,8%). Sisanya, sebanyak 42,% responden belum menentukan pilihan.

Namun hasil ini merupakan cerminan bahwa Moeldoko sendiri tidak mengambil langkah-langkah agresif untuk mencalonkan dirinya sendiri. Namanya muncul dari rakyat, berbeda dengan Prabowo Subianto atau mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo yang memang dengan terbuka hendak berpartisipasi di dalam bursa capres-cawapres.

Di mata Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI) yang juga Anggota Komisi XI DPR Eva Kusuma Sundari menilai bahwa, Sosok Jenderal TNI (Purn) Moeldoko adalah sosok Pemimpin yang memiliki lima keunggulan.

“Pertama, Moeldoko tidak ada beban masa lalu. Dia lebih legitimate, soal kasus berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) beliau clear. Kalau dibandingkan dengan seniornya Mantan Komandan Kopasus Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto yang saat ini bakal menjadi rival calon politiknya Joko Widodo untuk kedua kalinya di pilpresnya akan datang,” kata Eva beberapa waktu lalu.

Kedua, kata Eva, karir puncak di Korps Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia berjalan mulus dari awal hingga pensiun. Bahkan saat ini masih dipercaya pemerintah untuk menjabat Kepala Kantor Staf Kepresidenan Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla sejak Januaru 2018.

Keunggulan yang Ketiga, yang dimiliki Moeldoko adalah dirinya tidak terlibat atau ada kontroversi kemusliman.

Keempat, Eva menilai sosok Moeldoko terdapat Chemistry dengan capres incunmbent Joko Widodo yang oke. Dengan kecocokan tersebut diyakini Moeldoko mampu mengimbangi cara kerja manatan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo jika saja dijadikan cawapres di pilpres 2019 mendatang.

Kelima, bahwa Moeldoko tidak memiliki atau terlibat di dalam organisasi kepartaian yang mengikat. Khususnya saat beliau menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan,sejak dilantik Joko Widodo per Januari 2018 yang lalu.

Selain itu, Moeldoko adalah lulusan terbaik Akabri (1981) (Lulusan Terbaik – Adhi Makayasa dan Tri Sakti Wiratama). Selain itu, Moeldoko juga adalah Lulusan terbaik di lembaga pendidikan Seskoad tahun 1995.

Studi Kebijakan dan Scenario Planning Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Indonesia (Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan, menghantarkan Moeldoko meraih gelar Doktor, Ia lulus dan mendapatkan gelar tersebut dengan predikat sangat memuaskan dari Universitas Indonesia.

Moeldoko vs Prabowo

Jika dibandingkan dengan karier militer antara Prabowo Subianto, Moeldoko lebih unggul. Moeldoko adalah jenderal bintang empat, dengan posisi akhir Panglima TNI. Sementara Prabowo adalah jenderal bintang tiga dengan posisi akhir Panglima Kostrad.

Pengamat politik dari UPH, Emrus Sihombing memuji kelebihan Moeldoko. Ia menyebut Moeldoko memiliki kepemimpinan yang bagus lantaran berhasil meraih bintang empat dan menjadi Panglima TNI.

Menjadi Panglima TNI, kata Emrus, bukanlah sebuah hal yang mudah karena adanya proses seleksi yang sangat ketat di dalam TNI. Tanpa adanya konsistensi dalam kinerja, tidak mungkin seseorang dapat diangkat menjadi Panglima TNI.

“Dan yang kedua, Moeldoko pernah panglima, jabatan tertinggi di TNI. Saya pikir itu tidak gampang, paling tidak proses untuk menjadi dia panglima itu kan tentu dialektika antara Presiden dengan DPR terjadi kan, artinya tidak orang sembarangan dong.”

Bahkan dari awal pendidikan militer pun, Moeldoko telah mengungguli banyak calon dari militer lainnya sebagai lulusan terbaik Akabri (1981) yang menggenggam penghargaan Adhi Makayasa Tri Sakti Wiratama. Ia masih melanjutkan pendidikannya di S2 dan S3 FISIP UI pada bidang administrasi, dan mendapatkan gelar doktor dengan predikat memuaskan.

Dari segi loyalitas, Moeldoko sudah teruji sampai ia pensiun secara terhormat dari TNI. Sebaliknya Prabowo diberhentikan secara tidak hormat oleh Presiden Habibie karena menggerakan pasukan Kostrad dari berbagai daerah menuju Jakarta di luar komando resmi Panglima ABRI saat itu, Wiranto.

Karir militer Prabowo diwarnai dengan pendekatannya yang militeristik, salah satunya berakibat kepada dugaan pelanggaran HAM di sejumlah daerah yang ditanganinya. Sementara itu Moeldoko yang menjabat komandan teritorial mampu mengelola komunikasi dengan warga setempat, hal mana yang menjadi modal kuat dalam keberhasilannya di dalam memimpin HKTI.

HKTI di bawah pimpinan Moeldoko selama belum 2 tahun ini telah mencatatkan berbagai langkah signifikan yang sudah diambil untuk menyejahterakan petani, memperbaiki produktivitas pertanian dan mendorong minat generasi muda terhadap pertanian. Sebaliknya Prabowo yang telah memimpin HKTI selama dua periode malah menghasilkan perpecahan internal yang berujung pada gugatan ke PTUN.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan