Jakarta, Aktual.com – Keputusan rapat kabinet pemerintahan Jokowi-JK yang membatalkan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengenai moratorium pelaksanaan ujian nasional (UN) terus menuai kekecewaan.
Inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal memandang memang negara membutuhkan alat evaluasi pendidikan secara nasional, seperti dilakukan oleh negara-negara AS, Eropa, Australia bahkan di Asia lainnya. Namun di negara-negara tersebut, evaluasi ditujukan untuk mengukur kualitas proses belajarnya.
“Jika buruk yang diperbaiki program pengembangan sekolahnya sehingga siswa tidak terbebani, stres atau frustasi,” kata Riza, di Jakarta, Jumat (9/12).
Sedangkan di Indonesia, sambung Rizal, UN lebih berperan untuk menentukan nasib atau masa depan anak. Walau sekarang bukan penentu kelulusan lagi, namun masih menjadi alat seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga mengakibatkan peran (sekolah, pengawas, dinas, kementerian) menjadi “alat penekan kesuksesan” bukan “pelayan atau pengayom”.
“Bahkan, persoalan UN yang tidak memeratakan mutu justru melahirkan ketimpangan antara sekolah favorit dan non favorit. Sehingga kapitalisme pendidikan menggurita (bimbingan tes) dan menghasilkan budaya pragmatisme,” ujar dia.
Di titik inilah, tambah Rizal, peran UN sebagai evaluasi nasional gagal atau telah miskonsepsi. Tetapi bukan berarti kita harus menghilangkan UN, hanya perlu ada perbaikan paradigma fungsinya.
“Kembalikan fungsi UN untuk pemetaan saja, bukan syarat seleksi masuk. Lalu, jadikan UN sebagai sistem pengujian yang lebih fundamental yang mendorong perubahan ‘revolusi belajar’ untuk menghasilkan ‘revolusi cara berpikir’,” tandasnya.
Novrizal Sikumbang
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang
Arbie Marwan