Jakarta, Aktual.com — Undang Undang merupakan acuan utama dalam pengelolaan administrasi negara. Sudah selayaknya proyeksi setiap perundang-undangan harus memperkuat setiap sektor untuk kepentingan jangka panjang.

Namun yang terjadi dalam Revisi Undang Undang No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, tidak menerapkan prinsip seperti itu.

Publish What Your Pay (PWYP) melihat motif perintah hanyalah tergiur dengan potensi tambang yang ada serta iming-iming investasi dari berbagai pihak tanpa memertimbangkan atau perencanaan jangka panjang.

“Revisi ini tanpa ada memikirkan efek jangka panjang dan menengah,” kata Peneliti PWYP Wiko Saputra saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/5)

Dia menjelaskan bahwa grand design dari naskah akademik yang telah diajukan pihak eksekutif ke legislatif, terkuak bahwa keinginan pemerintah hanya untuk memudahkan investasi, terutama pada pertambangan di lepas pantai yang oleh UU sebelumnya termasuk tindakan terlarang.

“Ada peluang pembukaan pertambangan di lokasi lepas pantai yang di UU lama tidak diperbolehkan, sekarang diperbolehkan karena Indonesia bagian timur itu potensi dalam lautnya besar banget maka adanya investasi yang ingin masuk dari China, sehingga merevisi uu itu,” pungkasnya.

Sebelumnya Revisi ini telah menuai penolakan dari berbagai lapisan masyrakat. Seperti halnya, Aktivis Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia (GDRI) Cahlid Muhammad menolak dengan tegas draf revisi tersebut.

Cahlid mengatakan bahwa draf tersebut menyalahi kaidah pembuatan revisi perundang-undangan karena sama sekali tidak mencerminkan penyempurnaan namun malah mencabut subtansi Undang-Undang tersebut.

“Dalam tradisi perubahan satu peraturan perundang-udangan, berdasarkan kaidah peraturan pembuatan perundang-undangan, dia hanya akan mengganti atau menyempurnakan beberapa pasal saja, tetapi kalau lihat dari draf yang beredar, RUU ini seperti sedang mencabut UU No 4 tahun 2009 sehingga tidak masuk dalam kategori revisi, ini amputasi terhada UU Minerba,” katanya kepada Aktual.comJum’at (25/3).

Selain itu, mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia periode (2005-2008) ini juga mencermati bahwa draf rancangan revisi Undang-Undang tersebut tidak diatas dasar melindungi kepentingan bangsa namun melainkan upaya membuka jalan bagi kepentingan korporasi.

Dia meminta DPR untuk berani bersikap tegas dan menolak naskah akademik Undang-Undang yang ditargetkan akan rampung pada bulan Juni 2016 mendatang.

“Oleh karena itu, DPR harus tegas untuk menolak revisi UU itu karena tidak tercermin dengan kuat bahwa revisi ini untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara serta melindungi kepentingan rakyat banyak, tetapi justru kesan yang kuat adalah melindungi kepentingan korporasi skala besar,” pungkasnya

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta