Perubahan Undang-Undang

Rizal juga menyoroti akuntabilitas APBN yang meningkat, tetapi tidak diikuti oleh serapan APBD daerah. Sehingga masih terjadi ketimpangan akuntabilitas antara pusat dan daerah, serta desentralisasi fiskal belum berjalan efektif.

“Pertanyaannya bukan hanya apakah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu direvisi, tetapi bagaimana implementasi konstitusi dapat benar-benar dijalankan untuk mencapai keadilan sosial yang substantif,” ujarnya.

Sedangkan Dr. Dian Puji Nugraha S, S.H., M.H., menyampaikan usulan penting terkait perubahan Undang-Undang Keuangan Negara, dengan fokus pada APBN, pajak, PNBP, serta independensi lembaga pengawas negara seperti BPK dan Bank Indonesia.

Dalam paparannya, Dian menekankan pentingnya mengubah mindset keuangan negara menjadi keuangan publik.

“Uang negara bukanlah milik negara semata, tetapi merupakan milik rakyat yang harus dikembalikan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan publik,” ujarnya.

Hal ini kata Dian, selaras dengan praktik di negara-negara maju, di mana konsep “public finance” menggantikan “state finance.” Beberapa poin utama dalam usulan perubahan undang-undang yang disampaikan meliputi Reposisi mekanisme APBN; Pajak dan PNBP; Independensi Bank Indonesia; Independensi dan fungsi BPK; dan Pinjaman serta jaminan negara.

Dian juga menekankan bahwa APBN dan sistem keuangan negara harus diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, penguatan tata kelola publik, dan menjaga independensi lembaga negara agar dapat menjalankan fungsi pengawasan secara profesional dan transparan.

Di kesempatan yang sama, Prof. Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan menekankan perlunya pembaruan Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004, khususnya terkait Pasal 40 yang membatasi pemanfaatan aset wakaf.

Menurut Nur Kholis, regulasi saat ini yang melarang harta wakaf dijadikan jaminan, dijual, atau dialihkan bentuk haknya, justru membuat aset wakaf tidak optimal dalam menunjang program sosial.

“Praktiknya, banyak yayasan pendidikan atau pesantren memiliki wakaf yang cukup besar, tetapi hampir tidak bisa dimanfaatkan karena keterbatasan hukum,” ujarnya.

Ia menyoroti bahwa selama ini masyarakat mengenal wakaf hanya untuk tiga hal: madrasah, masjid, dan makam. Padahal, perkembangan wakaf uang (cash wakaf) telah memungkinkan pengelolaan aset lebih fleksibel, termasuk untuk mendapatkan pendapatan tambahan guna membiayai kegiatan sosial.

“Ini menunjukkan perlunya reinterpretasi hukum wakaf agar aset yang dimiliki nadzir dapat dimanfaatkan secara optimal, selaras dengan tujuan kesejahteraan sosial,” tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya dorongan legislatif untuk merevisi Undang-Undang Wakaf agar lebih relevan dengan kondisi saat ini. Dengan revisi undang-undang wakaf tersebut, diharapkan aset wakaf dapat berperan lebih efektif dalam mendukung pendidikan, kesehatan, dan program kesejahteraan sosial lainnya.