Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat berharap kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mampu menciptakan harmoni dan menghilangkah gap atau jarak antara pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Lestari Moerdijat, hubungan pemerintah pusat dan daerah harus dibahas di atas pilar demokrasi dan persatuan yang mengedepankan tujuan bersama untuk kesejahteraan masyarakat.
“Kehadiran UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja diharapkan mampu membuka lapangan kerja lebih luas dengan mempersempit gap antara pemerintah pusat dan daerah,” kata Lestari Moerdijat atau Rerie dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (18/11).
Rerie mengemukakan hal itu ketika membuka diskusi daring bertema “Implikasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bekerja sama Dewan Pakar dan Koordinator Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis Partai NasDem, Rabu (18/11).
Hadir dalam diskusi tersebut, antara lain menghadirkan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Susiwijono Moegiarso, anggota Badan Legislasi DPR RI Taufik Basari, Bupati Kepulauan Tanimbar Petrus Fatlolon, akademikus sekaligus Dirjen Otonomi Daerah Periode 2010—2015 Djohermansyah Djohan, dan Dewan Pakar Partai NasDem dan Pakar Manajemen dan Tata Kota Rino Wicaksono.
Rerie mengapresiasi adanya upaya untuk memperkecil gap miskomunikasi dan miskoordinasi antarsatuan pemerintah, baik di pemerintah pusat maupun daerah yang selama ini terjadi.
Namun, dalam mengatasi kondisi krisis saat ini, menurut dia, dibutuhkan lompatan besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Di sisi lain, pascapengesahan RUU menjadi UU Cipta Kerja, sejumlah elemen masyarakat masih sulit untuk memahami isi dan tujuan undang-undang tersebut,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, masih ada sejumlah tantangan dalam mengimplementasikan UU Cipta Kerja terkait dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Politikus Partai NasDem itu memandang perlu sejumlah langkah agar isi dan tujuan UU Cipta Kerja dapat dipahami oleh masyarakat, pemangku kepentingan, dan para pelaku usaha lewat berbagai diskusi dan sosialisasi.
Agar UU Cipta Kerja dapat segera diaplikasikan, kata Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Susiwijono Moegiarso, pemerintah dalam beberapa bulan mendatang sedang membuat 44 rancangan peraturan pemerintah (RPP), sebanyak 15 RPP di antaranya terkait dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam pembuatan RPP itu, menurut Susiwijono, Pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberi masukan.
Sementara itu, Bupati Kepulauan Tanimbar Petrus Fatlolon menilai sejumlah aspek negatif terkait kebijakan yang akan diberlakukan pada UU No. 11/2020 terhadap daerah.
Misalnya, terabaikannya hak ulayat pada lahan adat, menurunnya semangat otonomi daerah, dan hilangnya potensi pajak dan retribusi daerah.
“Setiap daerah memiliki kondisi yang beragam, tolong dikaji dengan baik agar ada standar kebijakan yang tepat sesuai dengan kondisi setiap daerah bila UU Cipta Kerja ini akan diterapkan,” ujarnya.
Anggota Badan Legislasi DPR RI Taufik Basari mengungkapkan bahwa substansi UU Cipta Kerja terkait dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah penataan aspek perizinan.
Selama ini, menurut dia, aspek perizinan sering kali dimanfaatkan sekelompok orang untuk kepentingan pribadi sehingga muncul berbagai hambatan investasi.
Menurut Taufik, sebagian kewenangan perpajakan, sebenarnya juga sudah dikembalikan ke daerah. Namun, pada UU Cipta Kerja mensyaratkan penerbitan izin oleh daerah harus sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang telah ditetapkan.
Djohermansyah Djohan mengingatkan pencabutan kewenangan dari daerah ke pusat berisiko menimbulkan gejolak di daerah.
“Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat kelembagaan di daerah untuk menyikapi sejumlah kebijakan dalam UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Ia menilai relatif singkatnya rencana pembahasan RPP terkait dengan UU Cipta Kerja, berpotensi membatasi penyerapan masukan dari publik dan daerah sehingga PP yang tercipta berpeluang kurang akomodatif menjawab hambatan yang ada. ( Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
Warto'i