Nama Prof. Dr. Mubyarto sudah tak asing lagi bagi para ekonom Indonesia. Khususnya, ekonom yang bergelut dengan isu-isu ekonomi kerakyatan, dan punya idealisme kuat untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan perekonomian nasional.
Lahir di Sleman, Yogyakarta, pada 3 September 1938, Mubyarto adalah pakar ekonomi kerakyatan yang mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan dikenal sebagai penggagas konsep Ekonomi Pancasila. Tetapi sebutan “penggagas” atau “penemu” itu tidak akurat. Seperti dikatakan Mubyarto sendiri, ia hanyalah pengembang konsep Ekonomi Pancasila.
Masa kecil Mubyarto hingga sarjana muda dihabiskan di Yogyakarta. Selepas dari UGM, Mubyarto melanjutkan pendidikan dan memperoleh gelar Master of Arts dari Vanderbilt University, Tennessee pada 1962 dan gelar Doctor of Philosophy dari Iowa State University, Iowa pada 1965, keduanya di Amerika Serikat.
Gelar Doktor diraihnya dalam usia 27 tahun, dengan mempertahankan disertasi berjudul Elastisitas Surplus Beras yang Dapat Dipasarkan di Jawa-Madura. Ia jadi dosen di Fakultas Ekonomi UGM (1959-2003). Salah satu jabatan pentingnya adalah sebagai Kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM tahun 1983-1994.
Selama dipimpin Mubyarto, P3PK intensif melakukan berbagai penelitian di bidang perdesaan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Kemudian pada 1987-1999, ia menjadi anggota MPR. Sejak 2002, dia adalah Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM sampai meninggal pada 2005.
Pustep didirikan oleh UGM di bawah pimpinan Rektor Sofyan Effendi, untuk mendalami dan mengembangkan konsep Ekonomi Pancasila. Konsep ini ramai menjadi bahan diskusi utama ekonomi Indonesia sejak 1980.
Sebagai birokrat, Mubyarto pernah menjabat sebagai Penasihat Menteri Perdagangan pada 1968-1971, Asisten Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas 1993-1998, dan Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Keuangan, dan Industri pada tahun yang sama.
Konsep Ekonomi Pancasila yang dikembangkan Mubyarto sempat ditertawakan sejumlah kalangan. Konsepnya yang sangat normatif dinilai sulit diterapkan di Indonesia, meskipun dikembangkan dari dasar negara Pancasila.
Mubyarto berusaha mengoreksi kesalahpahaman yang telah terlanjur menjadi pemahaman umum. Dia bukan penemu Ekonomi Pancasila. Dia hanya mengembangkan lebih lanjut konsep Ekonomi Pancasila, setelah idenya didengungkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, dan untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Emil Salim.
Mubyarto coba menerjemahkan ide Bung Karno dan Bung Hatta bahwa Eko¬nomi Pancasila adalah sektor kegiatan ekonomi wong cilik, yang juga sering disebut sektor informal. Di sana ada petani, nelayan, peternak, pekebun, perajin, pedagang kecil, dan sebagainya. Modal usaha mereka merupakan modal keluarga, kecil, dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga.
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) adalah salah satu program pemerintah yang diluncurkan Mubyarto pada 1993, saat ia menjabat sebagai Asisten Menteri/Kepala Bappenas. Yaitu, menghibahkan dana pemerintah kepada kelompok masyarakat miskin, untuk dikelola langsung oleh masyarakat secara musyawarah, dengan menggunakan konsep dana bergulir.
Program IDT ini adalah hasil pemikiran Mubyarto bersama koleganya. Antara lain, yang tergabung di Yayasan Agro Ekonomika, seperti sosiolog pedesaan IPB Sayogyo dan Direktur LSM Bina Swadaya Bambang Ismawan. Program IDT sebagai program pengentasan kemiskinan telah berhenti, namun konsep hibah dana bergulir yang dikembangkan Mubyarto dkk sampai sekarang masih digunakan dalam bentuk program-program lain, di berbagai sektor pembangunan di Indonesia.
Menurut Mubyarto, dalam bukunya “Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila,” Ekonomi Pancasila dicirikan sebagai berikut: Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, moral dan sosial. Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi.
Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi. Koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional.
Kemudian, adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi, untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial, dengan sekaligus menjaga efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Sistem Ekonomi Pancasila memiliki perbedaan mencolok dengan sistem eko¬nomi liberal yang belakangan justru menjadi arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Sistem Ekonomi Pancasila berorientasi pada rakyat kebanyakan, sedangkan sistem ekonomi liberal hanya menguntungkan individu-individu tanpa memerhatikan manusia lain. Sistem Eko¬nomi Pancasila juga berbeda dengan sistem ekonomi sosialis, yang tidak mengakui kepemilikan individu. Inilah keunggulan sistem Ekonomi Pancasila.
Mubyarto meninggal di Yogyakarta, 24 Mei 2005, pada umur 66 tahun. Mubyarto meninggalkan seorang istri, Sri Hartati Widayati, dan empat orang anak: Andianto Hidayat, Tantiarini Hidayati, Satriyantono Hidayat, dan Dadit Gunarwanto Hidayat, serta sejumlah cucu. Pada tahun itu, Mubyarto telah menyelesaikan tugas utamanya dan memasuki masa pensiun sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM. ***
Artikel ini ditulis oleh: