Semarang, aktual.com – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Tafsir menyatakan program sertifikasi dai yang disiapkan Kementerian Agama jangan menjadi penghalang bagi pendakwah yang tidak memiliki sertifikat untuk berceramah.

“Boleh saja Kementerian Agama menerbitkan sertifikasi dai. Namun, tidak boleh diwajibkan,” kata Tafsir di Semarang, Jumat (22/11).

Bagi dai yang berminat mendapatkan sertifikasi, dia mempersilakan mereka. Namun, bagi dai yang menganggap tidak perlu sertifikasi, jangan dipaksakan.

“Dai atau mubalig beda dengan profesi pengacara atau dokter. Serahkan saja kepada masyarakat. Mereka mau mengundang dai yang bersertifikasi atau tidak, itu terserah mereka,” kata dosen UIN Walisongo Semarang itu.

Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan program sertifikasi dai atau pendakwah.

Menurut Tafsir, sertifikasi dai tersebut terkait dengan kebijakan untuk mendorong penyebarluasan paham keagamaan yang moderat versi pemerintah.

“Ukuran moderat untuk paham yang satu dengan yang lain bisa jadi berbeda. Jadi, yang dimaksud moderat tersebut tentu versi pemerintah,” katanya.

Pemerintah, kata Tafsir, menginginkan isi ceramah dai tidak memuat paham radikal atau ekstrem, tetapi bagaimana membangun harmoni dan meneguhkan Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin).

Fenomena Konservatisme

Ia mengakui mencuatnya fenomena konservatisme pada sebagian kelompok dengan penggunaan atribut fisik, seperti pemakaian cadar (niqab) atau celana cingkrang.

“Namun, fenomena tersebut tidak akan bertahan lama karena bakal tergilas perubahan zaman,” katanya.

“Penggunaan cadar itu sah-sah saja. Namun, itu lebih menggambarkan physicial symbol (simbol fisik) kembali ke masa lalu,” katanya.

Menurut dia, penggunaan simbol fisik seperti itu bukan menunjukkan cara Islam berkemajuan, melainkan kemunduran karena mereka mengacu pada masa lalu.

“Tetap sah memakai cadar. Itu menggambarkan konservatisme, bukan sesuatu yang progresif dalam menghadapi tantangan zaman,” ujarnya.

Menurut dia, ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dalam keberagamaan, yakni budaya agama, fikih, dan syariah.

“Syariah tidak boleh berubah, tetapi fikih dan budaya agama berubah seusai dengan ruang dan waktu,” katanya.

Menutup aurat, katanya, merupakan syariah, sedangkan memakai sarung untuk menutup aurat itu budaya agama.

“Sah saja menutup aurat pakai sarung. Kalau di Arab, budayanya pakai jubah,” katanya.  [Eko Priyanto]

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin