Pemilu 2019

Kupang, Aktual.com – Pelaksanaan Pemilu 2019 rencananya akan dilaksanakan pada 17 April 2019. Namun, muncul hambatan karena jadwal ini berbarengan dengan perayaan keagamaan di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Flores Timur, NTT, pun mendesak pemerintah dan instansi terkait untuk mengubah jadwal Pemilu serentak 2019 karenanya.

Ketua MUI Flores Timur, Ahmad Bethan mengatakan, desakan untuk mengubah jadwal Pemilu tidak bisa ditawar-tawar lagi, mengingat adanya pertimbangan keamanan nasional dan berdampak pada partisipasi pemilih.

Dilansir dari Antara, Pernyataan Bethan ini merupakan bentuk tanggapan atas permintaan dari Keuskupan Larantuka, Flores Timur agar jadwal Pemilu 2019 diubah karena bertepatan dengan “Saman Santa”.

Menurut dia, apabila agenda pemerintah dalam hal ini, pemilu legislatif dan pemilu presiden berlangsung berbarengan dengan peristiwa keagamaan/peristiwa iman dalam hal ini Samana Santa, maka konsentrasi kehadiran negara/pemerintah menjadi terbelah.

Padahal, negara/pemerintah harus hadir dalam peristiwa keagamaan/peristiwa iman secara utuh, sehingga mampu mengamankan segala ekses yang mungkin terjadi, mengingat peristiwa iman terjadwal secara alami dalam perspektif iman kepada Tuhan.

“MUI tidak bisa membayangkan, bagaimana negara atau pemerintah dalam waktu yang bersamaan melakukan tindakan pengamanan, apabila terjadi ‘chaos’ dalam penyelenggaraan pemilu, terutama pilpres yang berlangsung serentak,” ujarnya.

Bagi MUI, transisi pergantian presiden, kepala negara dan kepala pemerintahan secara konsep maupun faktual, rentan dengan dengan sejumlah pemasalahan perpolitikan.

Dia menambahkan, pertimbangan lain adalah esensi dari pasal 29 UUD 1945, yang pada pokoknya kebebasan menjalankan ajaran agama dalam koridor hukum.

Pada esensi ini, maka setiap peristiwa keagamaan/iman sebagaimana juga Samana Santa, negara/pemerintah ada didalamnya, baik dalam bentuk regulasi maupun fisik.

Samana Santa akan melibatkan kehadiran masyarakat negara lain dan daerah lain, sehingga arus orang keluar masuk negara Indonesia dan sebaliknya.

Juga arus orang keluar masuk dari satu daerah ke daerah lain, tentu tidak bisa kita hindari dan menjadi sesuatu yang niscaya.

“Kehadiran negara secara fisik dalam rangka kewaspadaan nasional, sebab arus orang masuk keluar negara atau daerah tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang biasa melainkan luar biasa,” tuturnya.

“Di sini perlu kewaspadaan nasional karena boleh jadi ada infiltrasi ideologi, mengingat pemilu tidak hanya pileg, tetapi juga pilpres yang rentan dengan potensi kudeta, juga ancaman keamanan negara,” kata Ahmad Bethan, menambahkan.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan