Warga melakukan aktivitas di atas perahu miliknya pasca pengusuran pemukiman dan kios di kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta, Rabu (13/4). Puluhan warga yang terkena dampak penggusuran beberapa waktu lalu terpaksa tinggal di atas perahu disebabkan rusun yang diberikan Pemprov jaraknya terlalu jauh dari tempat mata pencariannya dan biaya sewa rusun yang mahal. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/16.

Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah mendesak Pemprov DKI untuk segera memenuhi hak-hak penghidupan warga Pasar Ikan dan Akuarium yang menjadi warga gusuran sejak 11 April 2016 lalu.

Pasalnya, sebanyak 740 warga masih terlantar di atas puing-puing runtuhan bangunannya meskipun Pemprov mengklaim sudah menyediakan rumah susun (rusun) bagi mereka.

“Faktanya mereka kembali lagi ke tenda, karena fasilitas (di rusun) yang disediakan tidak ada. Mobilisasi tempat kerja apakah nggak dipikirin, pekerjaannya sudah enggak ada,” kata Ikhsan di kantor MUI, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (2/5).

Dalam penggusuran tersebut, Ikhsan menilai, masyarakat memiliki kedudukan yang sama untuk mendapatkan hidup yang layak, termasuk hak sosial. Sehingga tidak pantas jika warga Pasar Ikan dan Akuarium mendapatkan perlakuan zhalim dan ditelantarkan oleh Pemprov DKI.

“Negara wajib melindungi tumpah darah. Inilah konsern MUI. Itu konstitusi, lho. Negara wajib melindungi tumpah darah,” tegas dia.

Sebabnya, MUI mengharapkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bisa membangun rusun yang layak huni bagi warga di bekas penggusuran. Ikhsan pun mengatakan, MUI mendukung jika penataan tersebut diperuntukan bagi warga bekas penggusuran.

“Kalau ditata itu bagus, tapi jangan kemudian peruntukannya untuk orang lain, gitu loh. Mereka juga gak keberatan (ditata),” jelas Ikhsan.

Lanjut Iksan, ia juga mengkritik cara Ahok yang hanya menilai ganti rugi kepada warga sebatas nilai tanah. Pasalnya, kehidupan tak hanya sebatas tanah melainkan juga nilai sosial di sekitarnya.

“Jangan diganti apa yang disampaikan oleh Pemprov ‘yaudah kami ganti NJOP’ tidak (begitu). Karena di sana ada hak hidup. Inget, di tanah yang dihargai NJOP tentu ada hak sosial dan hak hidup ini taut menaut yang gak bisa dipisahkan,” kata dia.

“Karena mereka ada pencaharian, bukan (sekedar) memindahkan barang, ‘ganti rugu tapenya rusak diganti berapa harga tapenya? Rp 700 ribu, saya pindahin kemana entar?’ Tidak begitu,” sambung dia.

Ikhsan pun membandingkan perlakuan Negara terhadap para pengungsi Rohingya di Medan dengan Pasar Ikan dan Akuarium. Dimana warga pengungsi Rohingya mendapatkan fasilitas ransum tiga kali sehari, tenda yang cukup serta fasilitas pendidikan.

Berbeda dengan nasib warga Pasar Ikan, yang hanya memiliki satu tenda. Itupun, bukan bantuan dari Pemprov DKI, melainkan dark TNI AL.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby